JAKARTA – Tiga nama DR. Mohamad Sobari, Sujiwo Tejo, dan Okky Madasari menjadi pembicara dalam gelaran Pidato Kebudayaan, di Balai Budaya, Menteng, Jakarta Pusat, 2 Februari 2024. Latar belakang diadakannya diskusi yang dipenuhi ungkapan sangat bermutu ini, lebih kepada menyoroti segala isu sosial budaya khusus nya politik negeri saat ini.
Acara yag di mulai ba’da Isya selepas hujan yang mengguyur Jakarta sejak sore ini dibuka dengan oleh sastrawan dan sosiologi Okky Madasari yang membacakan pidato berjudul “Martabak Politik dan Intelektual Martabak”.
Teks pidatonya sendiri menggambarkan tentang hasrat untuk berkuasa terus dilakukan tanpa martabat. “Ini sebetulnya tulisan dengan judul metafora yang pernah saya terbitkannya pada tahun 2020,” ujar Okky.
Relevan dengan keadaan saat ini, Okky seolah tengah memotret kondisi politik Indonesia, di mana hasrat untuk terus berkuasa, dilakukan tanpa martabat. Segala upaya digunakan untuk memperlakukan jabatan sebagai sebuah warisan yang bisa diteruskan oleh anak, cucu, ipar, keponakan.
Penggunaan kata martabak sendiri oleh Okky diungkapkan sebagai metafora dan tidak lepas dari subjek yang ingin disindirnya.
Okky Madasari juga mengingatkan akan sejarah kekuasaan beraroma intrik dan licik yang pernah terjadi di negeri ini, ketika Soekarno kata revolusi menjadi mitos, di era Soeharto mitos dengan berhiaskan kata pembangunan. Sekarang ini kata kekuasaan malah melahirkan mitos untuk melanggengkan kekuasaan.
Pada tampilan kedua, hadir budayawan eksentrik Ki Sujiwo Tejo. Sebelum memulai pidatonya, Sujiwo Tejo meniupkan trompet dan memainkan sepenggal karya Janis Joplins yang berjudul ‘Summertime’. Sebagai sebuah pesan tersirat, tiupan terompet itu sendiri memberi warna pada gelaran Pidato Kebudayaan bertajuk Merawat Kewarasan dan Manumbuhkan Kesadaran Masyarakat Indonesia.
Sujiwo Tejo dalam pidatonya melihat politik sekarang ini tidak seperti sebagian budayawan lainnya. Dia menyebut nama Butet Kartaredjasa, Eros Djarot yang kecewa, bahkan saking kecewanya budayawan Gunawan Mohamad perlu menangis di televisi.
“Mereka yang menangis itukan karena menganggap kekuasan Jokowi berbeda di awal dengan di masa akhir. Saya dari 2014 biasa saja melihat kekuasaan Jokowi. Jadi, sekarang pun perasaan saya biasa saja. Satu hal lagi saya ingin sekali mengetahui bagimana rasa sakit kecewa mereka terhadap Jokowi,” ungkap Sujiwo Tejo.
Bagi mantan wartawan yang kini menjadi aktor dan budayawan itu politik tangan besi mematikan nyali dan kekuasaan yang dinafikan mematikan nalar.
Sementara pada saat sesi pidato DR. Mohamad Sobari yang kerap dipanggil Kang Sobari, pikiran dan ceramahnya cukup dikenal dengan membawa pesan tentang kebudayaan sebagai sistem yang membawa pengaruh dalam berbagai aspek kehidupan.
Dari apa yang disampaikannya, Kang Sobari menyebutkan seni tidak bisa dipisahkan dengan ilmu pengetahuan. Karena seni adalah ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan adalah seni. Lirik lirik dalam seni puisi memberi pesan, tidak sekadar kesan. Ada dialektis di sana, sama halnya seperti halnya dalam dialektis dalam perpolitikan Indonesia.
Jatuh bangun suatu kekuasaan itu di alami sepanjang sejarah Indonesia, jadi Soeharto runtuh menangis. Seperti halnya dalam dialektis dalam perpolitikan Indonesia. Jatuh bangun suatu kekuasaan itu di alami sepanjang sejarah Indonesia, jadi tidak perlu menangis.
“Makanya kalau suasana politik sekarang seperti ini, ya itu dialektis, biasa saja. Kekuasaan itu memang ada kalanya jatuh dan bangun,” tegas Kang Sobari. Banyak orang mengeluh dan merasa sedih ketika Soekarno jatuh dari kekuasaan. Begitu juga ketika kekuasaan Soeharto runtuh oleh air mata dan darah
Dia memberi kiasan, apa yang dirasakan oleh seseorang suasana politik sekarang ini. ya dirasakan oleh banyak orang juga. “Kalau kekuasaan itu diumpakan matahari, ada satu orang merasakan panasnya matahari, jutaan orang juga merasakan panas yang sama,” kata Budayawan bergelar doktor dari Monash University Australia itu./ JOURNEY OF INDONESIA