JAKARTA – Industri perfilman Indonesia kembali menarik perhatian dunia. Dalam gelaran bergengsi Cannes Film Festival 2025 yang berlangsung pada 13–24 Mei di Prancis, kehadiran Indonesia tidak hanya sekadar tampil, tetapi menunjukkan kekuatan sinema sebagai representasi budaya bangsa.
Melalui Kementerian Kebudayaan, Indonesia mendirikan Paviliun Indonesia di Marché du Film, pasar film terbesar di dunia yang menjadi bagian tak terpisahkan dari festival Cannes. Kehadiran ini tidak hanya bertujuan membuka peluang bisnis, tetapi juga menegaskan bahwa sinema Indonesia telah menjadi medium diplomasi budaya yang kuat.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengungkapkan bahwa keterlibatan Indonesia dalam ajang ini merupakan bentuk nyata keberpihakan pemerintah terhadap pelaku industri film tanah air. “Film Indonesia bukan hanya tontonan, tetapi cerminan identitas budaya kita yang kini berbicara di panggung internasional,” ujar Fadli dalam sesi taklimat media di Jakarta.
Sejumlah film unggulan dibawa ke Cannes tahun ini. Di antaranya Ikatan Darah yang menonjolkan seni bela diri silat dalam balutan film aksi produksi Uwais Pictures, serta Jumbo, animasi fenomenal yang sukses meraih lebih dari 8 juta penonton dan menjadi film terlaris di Indonesia. Film debut penyutradaraan Reza Rahadian, Pangku, juga diboyong untuk mencari peluang distribusi global.
Tak ketinggalan, Sleep No More (judul Indonesia: Monster Pabrik Rambut) karya terbaru Edwin yang merupakan hasil kolaborasi internasional bersama Singapura, Jepang, dan Jerman. Sementara itu, Garin Nugroho bersama Christine Hakim mempersembahkan The Mourning Journey, yang menandai kembalinya sang aktris legendaris ke Cannes setelah sekian lama.

Di luar film, potensi kekayaan intelektual Indonesia turut ditampilkan dalam program Spotlight Asia dengan menghadirkan tiga komik lokal: Bandits of Batavia, Locust, dan Jitu, yang dinilai potensial untuk diadaptasi ke layar lebar oleh pelaku industri global.
Cannes 2025 juga menjadi ajang prestasi insan film Indonesia. Produser muda Razka Robby Ertanto dipercaya tampil di Producers Network untuk mempresentasikan film biografi tokoh seriosa nasional, Rose Pandanwangi. Tak kalah membanggakan, Yulia Evina Bhara didaulat menjadi juri dalam Semaine de la Critique dan memproduseri film Renoir, yang masuk kompetisi utama sebagai hasil kolaborasi lima negara.
Partisipasi aktif ini hadir seiring meningkatnya kepercayaan publik terhadap film lokal. Data Kementerian Kebudayaan mencatat, sepanjang 2024, film Indonesia ditonton lebih dari 81 juta penonton—nyaris dua kali lipat dari film asing yang hanya mencatat 40 juta penonton di bioskop nasional.
“Keikutsertaan Indonesia dalam Cannes bukan hanya soal selebrasi sinema, tetapi wujud komitmen kita untuk menjadikan budaya sebagai pilar kekuatan bangsa di mata dunia,” pungkas Fadli Zon./ JOURNEY OF INDONESIA | Denny Nathanael Pohan