BROMO — Langit Bromo yang berkabut dan udara yang menggigit tak menyurutkan semangat ribuan penonton yang memadati Amphitheater Jiwa Jawa Resort, Sabtu (19/7/2025) malam. Di panggung terbuka di kaki Gunung Bromo itu, Karimata, band jazz fusion legendaris Indonesia, tampil membawakan sembilan lagu yang membangkitkan nostalgia sekaligus menyuntikkan energi segar bagi panggung musik jazz Tanah Air.
Penampilan Karimata malam itu menjadi salah satu momen paling dinantikan dalam BRI Jazz Gunung Series 1 Bromo. Ini adalah kali pertama Karimata yang dibentuk pada 1985, tampil dalam festival BRI Jazz Gunung Indonesia. Mereka mengisi slot “legenda”, sebuah ruang khusus bagi musisi ikonik yang pernah mewarnai peta musik Indonesia.
Candra Darusman (kibor), Aminoto Kosin (kibor), dan Budhy Haryono (drum) hadir sebagai tiga personel asli Karimata. Mereka turut menggandeng tiga musisi sesi papan atas Indro Hardjodikoro (bass), Dony Koeswinarno (flute, saksofon), dan Noldy Benyamin (gitar). Formasi ini membawakan lagu-lagu khas Karimata dengan pendekatan jazz fusion yang tetap relevan, meskipun genre ini sempat redup dari arus utama musik Indonesia.
Mereka membuka penampilan dengan lagu ‘Dahaga’, ciptaan Erwin Gutawa yang menjadi track pembuka album Pasti (1987), disusul “Relief” karya Denny TR dan ‘Gringgo’ dari album Lima. Tanpa lirik, Karimata menyampaikan pesan musikal mereka lewat melodi, sinkopasi, dan dinamika permainan yang begitu solid.

“Jazz itu luas, ada smooth jazz, jazz rock fusion, swing semua masih dalam satu rumah, karena semuanya mengandung improvisasi,” terang Candra Darusman kepada penonton.
Sambutan hangat tak hanya ditujukan untuk lagu-lagu instrumental mereka. Saat memasuki bagian pertunjukan yang membutuhkan vokal, Karimata menghadirkan Windy Triadi, penyanyi muda asal Malang. Menyanyikan lagu ‘Masa Kecil’ yang akan mengingatkan kita dengan suara pembawa pertama lagu tersebut.
Dihadapan penonton Windy mengaku sempat gugup. “Ketika dihubungi main sama Karimata sih deg-degan ya, karena mereka salah satu legenda musik Indonesia, yang semuanya punya karya masing-masing, dan mereka semua pastinya orang-orang hebat,” ujarnya.
Latihan pun hanya dilakukan sekali saat check sound di lokasi. Namun, keterbatasan itu tidak mengurangi kualitas penampilannya. “Pressure-nya mantep banget, tapi saya senang bisa diberi kepercayaan.”
Mendapat applause yang cukup meriah dari penonton, Windy pun melanjutkan penampilannya lewat lagu ‘Hari Ini Milik Kita’ dan ‘Kisah Kehidupan’.
Menurut Candra, kolaborasi dengan musisi lokal adalah bagian dari semangat Karimata dalam menjaga relevansi sekaligus memberdayakan komunitas musik daerah. “Sebenarnya sederhana saja, kita selalu ingin mengajak musisi setempat. Karena kita tahu bahwa musisi setempat itu potensinya enggak kalah sama yang di Jakarta,” jelas Candra saat press conference beberapa jam sebelum tampil.

Proses pemilihan Windy pun dilakukan secara selektif. Budhy Haryono, yang mengenal banyak musisi dari Malang, menjaring lima kandidat vokalis perempuan sebelum akhirnya menjatuhkan pilihan pada Windy. “Saya tanya beberapa teman tentang vokalis di Malang, lalu kami coba dengar. Dari lima nama, akhirnya kami pilih Windy,” ungkapnya.
Setelah kolaborasi vokal, Karimata kembali ke akar jazz fusion mereka dengan membawakan tiga karya instrumental yang memperlihatkan kepiawaian mereka yakni ‘Kharisma’, ‘Di Atas Batas’, dan ‘Why Not’.
Jazz Gunung Series 1 Bromo tidak hanya menjadi ruang tampil bagi Karimata. Festival ini juga menghadirkan musisi lintas generasi dan gaya seperti Emptyyy, Jamie Aditya & The Mezzrollers, Is Love, Kuaetnika, serta RAN. Setelah sukses di Bromo, Jazz Gunung Series akan berlanjut ke edisi kedua di tempat yang sama pada 26 Juli, dan berakhir di Ijen, Banyuwangi, pada 9 Agustus.
Kembalinya Karimata ke panggung besar seperti Jazz Gunung bukan hanya sebuah reuni musikal, melainkan pengingat akan kekayaan warisan jazz Indonesia yang terus berkembang melalui kolaborasi lintas generasi dan lintas daerah. Sebuah momen yang tak hanya membawa nostalgia, tetapi juga memberi arah baru bagi masa depan musik jazz di Tanah Air./ JOURNEY OF INDONESIA | Ismed Nompo