PROBOLINGGO — Sore yang cerah di Jiwa Jawa Resort Amphitheater, Bromo, berubah menjadi perayaan energi dan identitas ketika Lorjhu’ naik ke panggung. Grup musik yang berdomisili di Jakarta asal Sumenep, Madura, ini tampil sebagai pembuka dalam BRI Jazz Gunung Series 2 Bromo, Sabtu (26/7), dan sukses menggugah perhatian lewat musik rock berbahasa daerah yang dipadukan dengan semangat pertunjukan khas festival.
Dengan balutan sarung, odheng, dan peci tinggi khas Madura, Badrus Zeman dan rekan-rekannya membawa nuansa pesisir ke atas panggung yang berada di ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut. Di hadapan penonton dari berbagai penjuru Indonesia dan mancanegara, mereka membawakan lagu-lagu seperti ‘Nemor’, ‘Lakonah Oreng Manceng’, ‘Kembang Koning’, ‘Jhajhan No’Mano’An’, ‘Parenduan’, ‘Abhantal Ombak’, hingga ‘Can Macanan’.
Musik mereka tidak menawarkan harmoni jazz seperti pada umumnya, namun justru merepresentasikan inti dari jazz itu sendiri: kebebasan, improvisasi, dan kejutan. “Kami tidak mengubah aransemen jadi lebih nge-jazz karena kami percaya karakter musik kami sudah cukup kuat untuk berdiri sendiri,” ujar Badrus, vokalis Lorjhu’ yang juga dikenal sebagai seniman visual dan pengajar.
Ia mengaku sempat ragu saat pertama kali diajak tampil di festival ini. “Saya mikir, apa harus bikin aransemen khusus supaya lebih nge-jazz. Tapi setelah lihat line-up tahun-tahun sebelumnya, ya harusnya musik kita bisa masuk juga,” katanya.

Keraguan itu berubah menjadi motivasi. Lorjhu’ bahkan mengakui bahwa Jazz Gunung adalah salah satu momen yang mendorong mereka latihan paling intens. Dengan latar belakang personel yang masing-masing memiliki kesibukan lain, koordinasi latihan menjadi tantangan tersendiri. “Bisa dibilang di event ini kita paling sering latihan. Karena kita sadar, ditonton oleh audiens jazz yang terbuka, tapi juga kritis,” ujar Badrus.
Penampilan Lorjhu’ menjadi penanda kuat bahwa musik daerah tak perlu menyesuaikan diri demi diterima. Justru ketika tampil jujur dan setia pada akar, musik itu bisa berbicara lebih lantang dan menyentuh lebih dalam.
Seperti yang disampaikan oleh Founder Jazz Gunung Indonesia, Sigit Pramono bahwa Lorjhu’ hadir bukan sekadar tampil, tetapi menyuarakan identitas. Lewat musik rock kontemporer yang diwarnai narasi lokal, mereka membawa warna berbeda ke dalam festival yang selama ini dikenal menyajikan musik jazz dengan nuansa etnik dan eksperimental.

“Jazz Gunung bukan ruang untuk musik yang seragam dan aman-aman saja. Ini adalah panggung kebebasan berekspresi. Dan Lorjhu’ datang membawa semangat itu, liar, jujur, dan penuh identitas,” ungkap Sigit.
Atmosfer sore itu semakin hidup ketika penonton ikut larut dalam alunan musik, bertepuk tangan, merekam momen, hingga bersorak pada bagian klimaks lagu. Suatu pemandangan yang jarang terjadi—band rock berbahasa Madura membakar panggung festival jazz.
Selain Lorjhu’, panggung Jazz Gunung Series 2 Bromo juga dimeriahkan oleh nama-nama besar seperti Monita Tahalea yang menghadirkan pertunjukan puitis, Bintang Indrianto Trio, Natasya Elvira feat. Bromo Jazz Camp, Tohpati Ethnomission, Rouge dari Prancis, dan Sal Priadi sebagai penutup.
Namun jelas, Lorjhu’ telah membuka lebih dari sekadar acara, namun mereka membuka ruang baru bagi musik etnik kontemporer untuk bersinar di tengah atmosfer jazz./ JOURNEY OF INDONESIA | iBonk