BANYUWANGI — BRI Jazz Gunung Series Ijen 2025 menutup rangkaian series festival tahun ini dengan kemeriahan di Amfiteater Taman Gandrung Terakota, Banyuwangi. Bukan sekadar konser musik, perhelatan ini menjadi ajang perayaan seni dan kebudayaan yang berpadu harmonis dengan lanskap alami lereng Gunung Ijen.
Dua pameran utama hadir di area festival yakni pameran seni visual ruang terbuka Fora Fauna: Kebun Binatang Seni dan pameran batik Beta Jemur. Pameran Fora Fauna merupakan kelanjutan dari pameran di Jazz Gunung Bromo pada Juli lalu, namun dengan konsep dan penataan berbeda.

Kurator Mikke Susanto mengajak pematung untuk menghadirkan karya luar ruang yang menampilkan bentuk, gerak, dan karakter berbagai fauna. Dari karya realistis hingga imajinatif, semuanya memadukan seni dan pesan ekologis. Patung-patung ini karya dosen dan alumni ISI Yogyakarta, antara lain Arlan Kamil, Butet Kartaredjasa, Lutse Lambert DM, hingga Komroden Haro, terpasang di berbagai titik taman, berpadu indah dengan panorama Ijen.

Beberapa karya mencuri perhatian seperti Kepala Gajah karya Komroden Haro yang mengartikan makna simbolik tentang induk kehidupan, sementara Laba-Laba Raksasa karya Lutse Lambert DM dengan perut menyerupai tabung gas memantik tafsir ancaman ekosistem. Mikke melihat visual laba-laba ini sebagai simbol ancaman. Namun, dia membiarkan tafsir terbuka kepada para pengunjung, apakah yang dimaksud kita yang diserang oleh mereka, atau kitalah yang menyerang? Laba-laba ini tak tunggal, karyanya hadir di berbagai sudut lain di taman membentuk semacam “koloni” yang tersebar.
Tak kalah satir adalah Tiga Celeng karya Butet Kartaredjasa. Ketiga celeng tersebut terbagi dengan Berbulu Loreng, Berburu Beringin, dan Berburu Cokelat yang menyisipkan sindiran sosial.”Karya ini saya bikin sejak tahun 2017 silam. Tapi pada hari ini karya tersebut seakan relevan,” katanya.

Sementara itu, pameran Beta Jemur yang menampilkan 50 kain batik karya maestro Pekalongan, Dudung Aliesyahbana. Dipasang layaknya jemuran di halaman desa, instalasi ini menghidupkan kembali ingatan kolektif bahwa batik adalah bagian dari kehidupan sehari-hari.
Dudung juga dikenal berani mendekonstruksi motif klasik seperti Parang yang dianggap sakral. Tapi ditangan Dudung malah melahirkan karya-karya baru yang dinamis, termasuk Motif Parang Indonesia Raya yang menembus batas medium kain. “Karya ini tentunya memperluas makna batik dalam narasi seni kontemporer,” ungkap Sigit Pramono, founder Jazz Gunung sekaligus kurator pameran ini./ JOURNEY OF INDONESIA | eR Bee