BANYUWANGI – Gerimis masih terus membasahi Taman Gandrung Terakota pada Sabtu (9/8/2025) malam, namun tak mampu meredam semangat seribuan penonton yang memadati amfiteater di Jiwa Jawa Resort. Penyanyi asal Banyuwangi, Suliyana, bersama 13 personel Glam Orchestra tampak bersiap menghadirkan harmoni musik yang memadukan jazz, orkestra, dan lagu daerah yang akan menciptakan nuansa kemewahan yang jarang terdengar di panggung musik jazz di tanah air.
Tampil dengan balutan longdress hitam menjuntai dengan belahan dada rendah, Suliyana membuka penampilannya lewat lagu ‘Cundamani’, karya Denny Caknan. Ia sengaja memilih lagu tersebut karena memiliki arti khusus bagi perjalanan kariernya. “Melalui lagu ini saya kembali ke dunia musik tanah air setelah vakum selama lima tahun,” ujarnya.
Aransemen megah dari Glam Orchestra memberi warna baru pada lagu yang akrab di telinga masyarakat Jawa, mengawinkan irama dangdut koplo dengan sentuhan jazz yang elegan. Riuh penonton makin pecah saat ‘Kanggo Riko’ dibawakan. Bagi warga Banyuwangi, lagu ini seperti pulang ke kampung halaman, dan beberapa penonton berdiri dan mulai bergoyang. Makin gayeng tatkala Suliyana menawarkan lagu ‘Kopi Dangdut’ untuk dinyanyikannya.

Untuk sedikit mengendurkan suasana, diva Banyuwangi tersebut menghadirkan tembang ‘Layang Kangen’ dan ‘Layang Sworo’. “Saya sengaja menghadirkan lagu ini, untuk mengingatkan kita kepada seseorang yang sangat berpengaruh pada genre musik ini, The God Father of Broken Heart… mas Didi Kempot,” ungkapnya.
Suliyana bahkan turun dari panggung, menyapa penonton satu per satu sambil bernyanyi, menciptakan momen intim yang menghangatkan malam. Puncak kemeriahan tercipta kala “Rungkad” menggema. Hampir seluruh penonton berdiri, bergoyang kompak, dan ikut menyanyi bersama, seolah melupakan hujan yang baru saja reda.
Terkait kehadiran Suliyana di panggung BRI Jazz Gunung Series 3 Ijen ini, founder Jazz Gunung Indonesia, Sigit Pramono menyebutkan bahwa penampilan Suliyana sebagai bukti bahwa jazz mampu mengangkat citra musik daerah. “Jazz terbukti menjadi medium yang efektif untuk merebranding karya lokal menjadi lebih berkelas,” ujarnya.

Senada dengan yang disampaikan oleh Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani yang turut hadir menyaksikan festival ini. Ipuk memuji upaya penyelenggara melibatkan musisi lokal. Menurutnya, kolaborasi ini membuktikan musik daerah bisa dipadukan secara kreatif tanpa kehilangan identitas. “Jazz Gunung adalah bagian dari Banyuwangi Festival yang memperkaya segmentasi pariwisata, dari seni etnik hingga modern, dari yang kolosal hingga segmented,” sebut Ipuk.
BRI Jazz Gunung Series 3 Ijen ini tidak hanya menjadi ajang musik, tetapi juga sarana pemberdayaan ekonomi lokal. Sejumlah UMKM di sekitar Taman Gandrung Terakota dan diajak membuka gerai, menawarkan kuliner dan produk kreatif kepada ribuan pengunjung festival.
Selain menghadirkan musisi ternama, tahun ini, Jazz Gunung Indonesia juga bekerja sama dengan ISI Yogyakarta untuk menghadirkan pameran seni visual bertajuk “Fora Fauna” dan pameran batik “Beta Jemur” yang memperkuat nuansa seni multidimensi dalam festival ini./ JOURNEY OF INDONESIA | Ismed Nompo