JAKARTA — Keputusan Rahayu Saraswati untuk mengundurkan diri dari keanggotaan DPR RI mengejutkan banyak pihak. Langkah ini dinilai sebagai fenomena langka dalam politik Indonesia, apalagi datang dari sosok generasi muda yang dikenal berprestasi, jauh dari kontroversi, serta meniti karier politik tanpa bergantung pada hubungan keluarga dengan ketua umum partainya.
Saras, sapaan akrabnya, bukanlah sosok instan di parlemen. Pada Pemilu 2019 ia sempat gagal melenggang ke Senayan, namun kegagalan itu tidak membuatnya surut. Dengan kegigihan, ia kembali mencalonkan diri pada Pemilu 2024 dan berhasil meraih kursi DPR.
Oleh karena itu, pengunduran dirinya menimbulkan tanda tanya besar. Berbeda dengan sejumlah anggota DPR yang belakangan dinonaktifkan partai karena desakan demonstrasi, keputusan Saras datang atas inisiatif pribadi. Teman-temannya bahkan para pengurus partai pun disebut-sebut sempat terkejut mendengar kabar tersebut.
Langkah ini dinilai sebagai cerminan sikap independen. “Berjuang demi bangsa tidak harus menjadi anggota DPR!” ujarnya. Sebuah pernyataan yang memberi pesan kuat bahwa politik bukan satu-satunya jalan untuk mengabdi pada negeri.
Rahayu Saraswati memilih mundur setelah menghadapi kritik di media sosial atas pernyataannya dalam sebuah podcast. Dalam kesempatan itu, ia menekankan pentingnya generasi muda tidak hanya menunggu kesempatan kerja dari pemerintah, tetapi menggunakan keterampilan dan keahlian untuk menciptakan usaha sekecil apapun.

Pesan tersebut sejatinya ditujukan untuk memotivasi, agar anak muda turut membantu menciptakan lapangan kerja. Namun pernyataan itu kemudian diplintir dan dianggap tidak cerdas. Padahal, berbeda dari banyak pejabat yang dikritik karena gaya hidup mewah atau pernyataan kontroversial, Saras justru mengajak generasi muda untuk berani mandiri.
Keputusan mundur secara sukarela menjadi sorotan tersendiri. Di Indonesia, budaya mundur karena kesalahan sekecil apapun masih jarang ditemukan. Selama ini, pejabat umumnya hanya melepas jabatan setelah terdesak oleh tekanan publik melalui demonstrasi besar-besaran.
Laksamana Sukardi, yang menuliskan refleksi atas keputusan Saras, menilai langkah ini seharusnya menjadi teladan. “Keteguhan Saras dengan keputusannya mundur sebagai anggota DPR RI harus dijadikan pelajaran bahwa kita harus memiliki budaya malu dan menempatkan akuntabilitas serta integritas di atas kepentingan pribadi,” tulisnya.
Perbandingan lantas muncul dengan Jepang, di mana budaya malu dan tanggung jawab begitu kuat. Di negeri sakura itu, pejabat tinggi bahkan rela mundur hanya karena keterlambatan kereta api beberapa menit.
Langkah ini pun dipandang sebagai peringatan bagi para politisi lain yang kerap bertahan di kursi kekuasaan meski telah dipermalukan oleh publik. Saras menegaskan, mundur bukanlah bentuk kelemahan, melainkan sikap ksatria demi menjaga marwah politik dan menghormati rakyat yang telah memilih. “Pelajaran lain dari pengunduran diri Rahayu Saraswati; ternyata tidak semua anggota DPR memalukan,” tulis Sukardi./ JOURNEY OF INDONESIA | iBonk