JAKARTA — Dunia pariwisata tengah bergerak ke arah baru: dari sekadar menjual keindahan menjadi menghadirkan makna dan dampak. Di tengah perubahan itu, Indonesia tak ingin hanya menjadi penonton. Kementerian Pariwisata (Kemenpar) kini menegaskan komitmennya untuk menjadikan keberlanjutan sebagai fondasi utama pembangunan destinasi dan promosi pariwisata nasional.
Melalui pendekatan yang menekankan pengalaman, kebersihan, dan tanggung jawab sosial, Kemenpar berupaya memastikan promosi pariwisata tidak hanya menarik wisatawan, tetapi juga meningkatkan kualitas destinasi serta memperkuat citra Indonesia di mata dunia. “Ke depan, tren pariwisata adalah tentang pengalaman. Wisatawan mencari experience, bukan sekadar tempat. Karena itu, pelayanan dan ekosistem pariwisata kita harus naik kelas,” ujar Deputi Bidang Pemasaran Kemenpar, Ni Made Ayu Marthini, dalam sesi live talkshow bersama Forum Wartawan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Forwaparekraf) di akun Instagram @forwaparekraf, yang merupakan bagian dari rangkaian Forwaparekraf Tourism Week sejak 22 Oktober lalu.
Dalam diskusi yang dipandu Ketua Forwaparekraf, Tiara Maharani, Ni Made menyoroti pentingnya kebersihan dan higienitas sebagai indikator kemajuan industri pariwisata. “Kebersihan itu keharusan. Orang berwisata ingin mendapatkan pengalaman terbaik. Kalau tidak bersih, berarti belum naik kelas,” katanya.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa pariwisata berkelanjutan tidak bisa dilepaskan dari keseimbangan antara alam, budaya, dan kesejahteraan masyarakat. “Pariwisata yang baik adalah yang menjaga lingkungan, melestarikan budaya, dan memakmurkan masyarakat. Tiga hal itu harus jalan bersama,” ujarnya.
Kemenpar kini tengah menyiapkan Program Unggulan 2025, yang akan menjadi arah transformasi menuju pariwisata masa depan. Ada lima fokus utama dalam program tersebut. Pertama, transformasi digital melalui Tourism 5.0, yakni pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) untuk membantu wisatawan menemukan destinasi berkelanjutan. Kedua, penguatan subsektor gastronomi, bahari, dan wellness tourism sebagai bagian dari inisiatif Pariwisata Naik Kelas.

Fokus ketiga adalah penyelenggaraan event bertaraf global yang mengangkat kekayaan intelektual Indonesia untuk memperkuat identitas dan daya saing kreatif bangsa di panggung dunia. Keempat, pengembangan desa wisata berbasis komunitas yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan. Dan kelima, penguatan kebersihan serta higienitas destinasi, kelanjutan dari Gerakan Wisata Bersih yang kini telah menjadi praktik baku di banyak daerah.
Menurut Ni Made, arah pariwisata dunia kini mengalami pergeseran. Wisatawan tak lagi sekadar mencari tempat indah, melainkan juga nilai, makna, dan kontribusi. “Kita ingin pariwisata Indonesia dikenal bukan hanya karena keindahan alamnya, tapi juga karena cara kita menjaga dan menghargai yang kita miliki,” ujarnya.
Untuk memperkuat pesan itu, Kemenpar meluncurkan kampanye komunikasi Go Beyond Ordinary. Kampanye ini mengajak semua pihak untuk melihat pariwisata dengan cara baru; lebih sadar, lebih menghargai, dan lebih berdampak. Ni Made menjelaskan, inisiatif ini menekankan pentingnya berwisata dengan kesadaran, di mana pengalaman tidak lagi diukur dari seberapa jauh perjalanan, melainkan dari seberapa besar dampak positif yang ditinggalkan.
Semangat ini berkelindan dengan kampanye Keep the Wonder di bawah payung Wonderful Indonesia, yang mengingatkan bahwa keajaiban alam dan budaya Nusantara hanya akan bertahan jika dijaga bersama. “Sustainability itu bukan tren. Ini komitmen jangka panjang. Kita ingin wisatawan, masyarakat, dan industri sama-sama peduli,” tutur Ni Made.
Sebagai tindak lanjut, Kemenparekraf menyiapkan inovasi berbasis kecerdasan buatan yang dapat membantu wisatawan memilih produk wisata ramah lingkungan. “Wisatawan bisa mencari destinasi yang pro kelestarian. Kalau mereka paham nilainya, meski harganya sedikit lebih tinggi, mereka akan tetap memilih,” jelasnya.
Menutup perbincangan, Ni Made memberikan refleksi sederhana namun bermakna. “Tren wisata ke depan adalah keseimbangan antara pengalaman, keberlanjutan, dan tanggung jawab. Harga menjadi nomor dua ketika wisatawan sadar akan nilai dari pilihannya.”/ JOURNEY OF INDONESIA | iBonk


















