JAKARTA – Kehadiran teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) kini tidak hanya merambah dunia kerja, namun mulai menyentuh sisi terdalam emosi manusia: rasa rindu. Melalui film terbaru produksi BASE Entertainment bersama Beacon Film, Refinery Media, serta dukungan Singapore Film Commission dan IMDA, narasi mengenai kehilangan dan kerinduan itu dibingkai dengan apik dalam judul “Esok Tanpa Ibu” atau secara internasional dikenal sebagai Mothernet. Setelah sukses mencuri perhatian di perhelatan JAFF20, film ini akhirnya merilis cuplikan resmi dan poster yang menawarkan kehangatan sekaligus kepedihan mendalam.
Poster resminya memperlihatkan visual yang puitis namun sarat makna. Dian Sastrowardoyo, Ali Fikry, dan Ringgo Agus Rahman tampak berbaring di hamparan bunga putih yang luas. Menariknya, komposisi tersebut dibingkai dalam bentuk layar gawai, sebuah representasi visual mengenai bagaimana teknologi mencoba menjadi perantara sekaligus pengganti dari sebuah kasih sayang yang bersifat manusiawi.
Kisah ini berfokus pada perjalanan emosional Cimot atau Rama (Ali Fikry), seorang remaja yang dunianya runtuh seketika saat sang ibu jatuh koma akibat kejadian tragis. Selama ini, sang ibu adalah tempatnya berbagi segala kegelisahan dan keceriaan. Kepergian mendadak sosok yang paling memahaminya membuat Cimot kehilangan arah. Hubungannya dengan sang ayah (Ringgo Agus Rahman) pun tidak berjalan mulus, ada kecanggungan dan jarak yang selama ini mereka simpan rapat-rapat yang justru semakin meruncing di tengah situasi berduka.
Dalam upaya mengatasi kesedihannya, Cimot menemukan pelarian pada sebuah teknologi eksperimental bernama i-BU. Ini adalah AI ciptaan temannya yang mampu mereplikasi wajah dan suara ibunya. Melalui perangkat tersebut, Cimot kembali bisa berinteraksi dengan sang ibu, meski hanya dalam wujud digital. “Di film ini, aku memerankan Cimot, karakter remaja yang sedang berjuang menghadapi kesedihan karena Ibunya mengalami koma.

Cimot tidak tahu bagaimana menghadapi kesedihan, jadi dia mulai menggunakan AI yang di film ini ada teknologi buatan temannya bernama i-Bu, itu sebagai coping mechanism si Cimot karena kangen sama Ibunya,” ungkap Ali Fikry mengenai pendalaman karakternya.
Meski AI menawarkan kemiripan yang luar biasa, film ini juga mengajukan pertanyaan filosofis: mampukah algoritma menggantikan detak jantung dan pelukan seorang ibu? Dian Sastrowardoyo, yang bertindak sebagai produser sekaligus pemeran sang Ibu, menegaskan bahwa esensi seorang ibu memiliki dimensi yang tak mungkin tersentuh oleh barisan kode pemrograman. “Ini adalah peran yang mewakili banyak sekali ibu-ibu kita semua, yang ada di kehidupan masing-masing. Ibu selalu memberikan perasaan untuk dimengerti, aman, dan Ibu tidak bisa digantikan oleh Bapak atau bahkan oleh AI sekalipun. Saya merasa sangat terhormat bisa memerankan Ibu di film ini,” tutur Dian.
Sisi lain dari duka ini juga diperlihatkan melalui perspektif seorang suami. Ringgo Agus Rahman memberikan kedalaman pada karakter Bapak yang harus bergulat dengan rasa kehilangan pasangan hidup sekaligus kegagapan dalam berkomunikasi dengan anaknya. “Ada dua orang yang kehilangan dalam cerita ini. Anak remaja yang kehilangan Ibunya, dan suami yang kehilangan istrinya. Dalam momen kehilangan itu, film ini ingin menghadirkan bagaimana relasi Bapak dan anak remajanya memperbaiki cara berkomunikasi mereka menjadi lebih baik,” jelas Ringgo.

“Esok Tanpa Ibu” bukan sekadar drama keluarga biasa, melainkan sebuah proyek kolaborasi internasional yang naskahnya ditulis oleh Gina S. Noer, Diva Apresya, dan Melarissa Sjarief. Di bawah arahan sutradara asal Malaysia, Ho Wi-ding, film ini menghadirkan kualitas visual dan penceritaan yang matang. Atmosfer emosional dalam trailer semakin diperkuat dengan iringan lagu ‘Jernih’ dari Kunto Aji serta ‘Raih Tanahmu’ karya hara & Nosstress yang memberikan nuansa melankolis namun tetap meneduhkan.
Produser Shanty Harmayn menceritakan bahwa pengembangan cerita ini memakan waktu yang cukup lama dan lahir dari keresahan personal para penulisnya. “Film ini dimulai dari ide Gina dan Diva, dan berasal dari sesuatu yang sangat personal bagi mereka. Sejak awal pandemi, kami berdiskusi panjang tentang bagaimana cerita ini bisa berbicara lebih luas. Dari banyak percakapan kami mulai dari isu keluarga, hingga bagaimana teknologi bisa memengaruhi hubungan manusia.
Proses yang dilalui cukup panjang dan terus berevolusi hingga menjadi karya yang bisa dinikmati oleh penonton Indonesia mulai 22 Januari 2026 di bioskop. Semoga ceritanya sampai ke hati penonton,” kata Shanty.
Selain jajaran pemeran utama, film ini juga didukung oleh talenta muda seperti Aisha Nurra Datau dan Bima Sena. Dengan mengeksplorasi tema universal mengenai keluarga dan adaptasi manusia terhadap teknologi, “Esok Tanpa Ibu” diprediksi akan menjadi salah satu tontonan paling menyentuh di awal tahun depan. Publik dapat menyaksikan perjuangan Rama dan ayahnya dalam menemukan kembali makna keluarga di bioskop-bioskop tanah air mulai 22 Januari 2026 mendatang./ JOURNEY OF INDONESIA | Ismes Nompo

















