Berangkat dari gagasan “tidak kasatmata” yang diangkat dalam “teater tidak kasatmata“ dan koreografi sosial Augusto Boal, Goethe-Institut memprakarsai suatu laboratorium seni berbasis proses untuk seni performatif di India dan Indonesia.
Sebanyak tujuh karya ciptaan seniman serta kolektif seni asal Indonesia dan India telah lahir dalam proyek koreografi “Invisible Dance”. Proyek ini mengkaji aneka pertanyaan dan sudut pandang alternatif terkait praktik-praktik tari kontemporer.
Setelah pertemuan perdana di Tanzplattform pada Maret 2022 di Berlin, Garasi Performance Institute dari Indonesia dan koreografer India Mandeep Raikhy bersama-sama mengembangkan “Invisible Dance” sebagai platform bagi seniman untuk mengeksplorasi hubungan antara ruang sosial dan tari dengan berbagai macam cara.
Tujuh seniman dan kolektif seni dengan gagasan riset berbasis konteks yang spesifik dari berbagai ruang rural atau desentral di Indonesia dan India diundang untuk bergabung dengan platform ini. Dari Indonesia, ada Lembâna Artgroecosystem; Komunitas KAHE; serta Enji Sekar. Adapun dari India adalah Abhijeet/Moodzi & Srilakshmi; Lapdiang A. Syiem; Rituparna Pal; serta Gram Art Project Collective.
Dalam karya berjudul Dikideng: Goyang Ragam Kultur Pesta di Maumere, Komunitas KAHE mengkaji festival dan perayaan masyarakat Maumere, Flores, sebagai koreografi sosial. “Karya ini bertujuan untuk mengamati pesta sebagai koreografi sosial atau dramaturgi dari sudut pandang tiga subjek yang sangat penting bagi pesta dan budaya pesta yang ada di Maumere: mama-mama yang menyiapkan hidangan, ana kolong (hadirin tanpa undangan), dan opreter (orang yang ditunjuk sebagai penanggung jawab lagu sepanjang pesta),” ucap Kartika Solapung dari Komunitas KAHE.
Hasil pengamatan terhadap cerita, interaksi, dan gerak mama-mama, ana kolong, dan opreter dijadikan pijakan bagi Komunitas KAHE membuat satu tari yang familiar dengan sebutan goyang ragam. Dengan pendekatan penciptaan bersama, mereka mengkodifikasi gerak-gerak para aktor pesta serta mengomposisinya dalam satu struktur dan kemudian mencobakan tari tersebut kepada beberapa pelajar SMA.
Sementara itu, karya film dokumenter pendek dan buku panduan bertajuk 24 Jam di Lembâna oleh Lembâna Artgroecosystem merupakan upaya pemetaan dimensi spasial dan temporal spesifik di tempat asal mereka di Sumenep, Jawa Timur.
Fikril Akbar dari Lembâna Artgroecosystem menyampaikan, “24 Jam di Lembâna penting bukan saja karena hendak melihat koreografi sebagai kerangka untuk melihat aspek-aspek geokultural Lembâna, tetapi juga sebagai moda riset untuk mempelajari, mendalami, dan memetakan pengetahuan mengenai kualitas keruangan Lembâna, berikut nilai yang beroperasi di dalamnya”.
Karya lain asal Indonesia dalam proyek ini berjudul Interkoneksi: Koreografi Sensorium dan Gerak Sehari-Hari yang diciptakan Enji Sekar dan sejumlah kolaboratornya yang berlatar belakang atau memiliki pengalaman dengan seni performans. Karya ini berfokus kepada pengamatan koreografis terkait empat indra, yaitu indra pendengar, perasa, peraba, dan pencium, di pasar Demangan dan Pathuk di Yogyakarta.
“Kami memilih dua pasar tradisional berukuran sedang sebagai laboratorium kami dengan asumsi bahwa tempat tersebut adalah ruang yang muncul dari keragaman di mana pengalaman multisensori seharusnya diproduksi. Para kolaborator diminta menjelajahi pasar dengan dipandu oleh pengalaman indrawi mereka dan kami mendorong mereka mencatat secara detail sambil terus mengidentifikasi apa yang mereka terima melalui indera mereka,” jelas Enji.
Selain dalam bentuk film dokumenter, temuan kelompok ini juga disajikan dalam wujud lapisan-lapisan peta. Peta kedua pasar dikombinasikan dengan berbagai peta indrawi berbeda sehingga menghasilkan visibilitas baru bagi orang dan barang yang tidak kasatmata.
Dari India, proyek Abhijeet/Moodzi dan Srilakshmi yang dinamakan Social Dance Experiments in Ahmedabad dilakukan di berbagai tempat di Ahmedabad dan ruang-ruang publiknya. Mereka melibatkan diri dengan beragam sektor masyarakat dan menyaksikan bagaimana eksperimen seperti ini dapat menanggapi konteks sosial-politik yang ada.
Karya Lapdiang A. Syiem dengan judul Laitïam merupakan eksplorasi terhadap narasi rakyat Khasi “U Sier Lapalang”, sebuah cerita mengenai seekor rusa jantan dari dataran yang kini kita kenal sebagai Bangladesh yang naik ke Perbukitan Khasi, tetapi malah ditangkap dan dibunuh oleh pemburu. Induknya menyusul untuk mencari putranya dan menemukan jasadnya. Ratapan sang induk konon merupakan bunyi yang mengajari masyarakat Khasi cara berduka dan berkabung.
Rituparna Pal dari Chennai menghadirkan karya Class Notes of a Savarna Dancer. Bharatanatyam memiliki sejarah pengambilalihan yang kejam dan berbasis kasta yang jarang mendapat tempat dalam catatan sejarah institusional. Pada awal abad ke-20, para praktisi tarian turun-temurun ini dikriminalisasi karena profesi dan panggung mereka diambil alih penari berkasta istimewa atas nama “kebangkitan” bentuk seni tersebut. Rituparna hendak mengangkat sejarah ini melalui karyanya dan menciptakan praktik Bharatanatyam yang anti-kasta.
Gram Art Project Collective sekelompok perempuan yang tinggal di lingkungan pedesaan dan dapat dikatakan sebagai perempuan India kebanyakan— menciptakan sebuah performans durasional berjudul Cotton Stainers yang meliputi berbagai cara berbeda untuk berbagi kenangan, harapan, impian, rahasia, dan beban mereka./ JOURNEY OF INDONESIA