Kebaya Encim merupakan baju tradisional Betawi yang sudah cukup tua umurnya dan kurang lebih sudah ada sejak 500 tahun lalu. Baju tradisional yang kerap digunakan oleh masyarakat Betawi ini sangat identik dengan peranakan Tionghoa namun sangat dekat dengan budaya Betawi.
Kata Encim sendiri menurut antropolog Diyah Wara berasal dari bahasa Hokkien, salah satu etnis Tionghoa yang berarti Bibi. Pada zaman dahulu mereka inilah yang paling banyak terdapat di Nusantara.
“Jadi dulu pakaian ini dipakai oleh perempuan-perempuan China, mereka pakai kebaya dan orang-orang selalu bilang “Oh, Kebaya yang dipakai si Encim, lama-lama disebutnya kebaya Encim,” ujar Diyah dalam festival kebudayaan Betawi di Jakarta Pusat, Sabtu (12/8) lalu.
Pakaian ini dahulu disebut juga kebaya Nyonya karena memang yang memakainya pada saat itu hanya orang-orang dari golongan menengah keatas. Namun jauh sebelum orang Tionghoa memakainya, kebaya juga telah dipakai oleh perempuan Eropa yang ada di Nusantara.
Diyah mengatakan, bahwa bentuk Kebaya sebetulnya merupakan baju panjang atau disebut juga baju kurung yang kebanyakan dipakai oleh orang Sumatera, Palembang, Aceh dan dimodifikasi oleh perempuan Belanda karena disesuaikan dengan iklim yang ada di Batavia. “Di Batavia kan panas, jadi kalau mereka gunakan baju dari Eropa mereka nggak tahan,” kata Diyah.
Namun yang dipakai oleh perempuan Belanda kebanyakan warna putih, sementara menurut Tionghoa Putih melambangkan kesusahan, kedukaan dan tidak keberuntungan. “Kebaya akhirnya mengalami inovasi dan bentuknya seperti sekarang ini, ada pengaruh budaya Tiongkok atau Cina,” tambah Diyah.
Sebagai bawahannya menurut Diyah, mereka mengaplikasikannya dengan sarung atau kain bermotif bunga atau motif parang dari Jawa yang identik dengan warna sogan. Bahkan perempuan Eropa menggunakan motifnya sendiri dengan warna biru dan ungu dan beragam motif bunga seperti bunga tulip.
Identitas Tionghoa
Pada zaman pendudukan Belanda di Batavia, banyak imigran China yang mengambil perempuan lokal sebagai isteri. Perempuan-perempuan tersebut kemudian mulai mengembangkan kebaya dengan menggunakan motif-motif yang sesuai dengan keberuntungan mereka.
Dalam hal pewarnaan, ketika timbul adanya perkembangan mengenai pakaian, mereka mulai menggunakan warna seperti merah, kuning, oranye dan hijau yang disesuaikan dengan warna keberuntungan bangsa Tionghoa.
“Kalau dalam tradisi Tionghoa itu kan putih melambangkan kejelekan, kurang beruntung. Perempuan Tionghoa berfikir itu tidak bagus jadi mereka kasih motif,” kata Diyah.
Namun pada waktu itu ternyata selain mereka gunakan sehari-hari, ternyata pemerintah Belanda yang ada di Nusantara mewajibkan masyarakatnya untuk menggunakan pakaian sesuai dengan etnis masing-masing.
“Wajah orang Tionghoa itu kan mirip dengan penduduk asli Nusantara karena mamang mereka sudah berbaur, begitupun dengan orang Tiongkok yang datang ke Nusantara. Makanya mereka bedakan dengan pakaiannya sesuai dengan identitas asal mereka,” ujar Diyah.
“Makanya ada daerah di Batavia yang bernama Kampung Melayu, Matraman, Kampung Ambon, dan Kampung Makassar dan mereka diperintahkan untuk memakai baju sesuai dengan etnis masing-masing,” tuturnya.
Pada saat itu bangsa China yang ada di Nusantara di bagi menjadi dua, Tiongkok dan China peranakan. Sehingga pakaian merupakan hal penting bagi pemerintah Belanda saat itu. Dari segi politis Belanda sangat takut dengan jumlah mereka yang memang lebih banyak, sehingga mereka dipisahkan. Tapi juga Belanda sangat memerlukan mereka sebagai perantara kepentingan mereka di Nusantara.
Percampuran Budaya
Orang Tionghoa juga tak lepas dari tradisi leluhur mereka, saat menghadiri perayaan Imlek atau Cap Gomeh mereka selalu mengenakan pakaian yang melambangkan kemakmuran dan keberuntungan. Oleh karenanya seiring dengan perkembangan zaman, perempuan Tionghoa memodifikasinya dengan wara dan motif yang tentu saja mempunyai makna bagi mereka. Begitupun dengan bentuk dan potongan pakaiannya.
“Motif yang sesuai dengan tradisi Tionghoa itu seperti bunga persik dan anyelir. Atau ada juga motif binatang, seperti burung merak yang menggambarkan kebahagiaan,burung phoenix yang melambangkan kesejahteraan dan kura-kura yang melambangkan panjang umur,” papar Diyah.
Begitupun dengan bentuknya yang persegi juga mempunyai makna, kesempurnaan, kokoh yang diumpamakan dengan bangku yang memiliki dua kaki yang tidak dapat berdiri tegak akan tetapi jika ada empat kaki pasti bangku tersebut dapat berdiri dengan tegak.
Banyaknya pendatang di Batavia, kebudayaan yang ada di Betawi pun merupakan budaya bentukan antara budaya Jawa, Arab, dan Tiongkok. Sebutan Tionghoa sendiripun adalah bentukan dari perpaduan antara Tiongkok dengan penduduk asli Batavia. Kebaya-kebaya yang digunakan oleh perempuan Tionghoa akhirnya dikenal dengan sebutan Kebaya Encim.
Kebaya Encim sangat identik dengan budaya Betawi karena budaya Betawi merupakan budaya bentukan dan perpaduan dari berbagai macam budaya, termasuk budaya Tionghoa. / JOURNEY OF INDONESIA