Penonton film Indonesia pada tahun 80-an tentu tidak akan lupa dengan tokoh Naga Bonar, seorang copet dari Kota Medan yang kemudian menjadi pejuang untuk mempertahankan NKRI pasca kemerdekaan. Naga Bonar mengangkat dirinya sendiri menjadi Jenderal.
Setelah tua, sebagai “Pensiunan Jenderal”, Naga Bonar hidup sejahtera. Anaknya menjadi pengusaha sukses, dia memiliki perkebunan sawit di Sumatera Utara. Kita tidak pernah tahu bagaimana caranya Naga Bonar mendapatkan kekayaan itu, karena dia nampaknya hanya seorang milisi, yang namanya mungkin tidak tercatat di buku besar organisasi militer tanah air. Dengan begitu dia tidak memiliki pensiun.
Potret kehidupan Naga Bonar yang sangat sejahtera itu kembali dimunculkan dalam film “Naga Naga Naga”, sequel kedua Naga Bonar setelah “Naga Bonar Jadi 2”. Sebelumnya, pensiunan Jenderal ini memang sudah digambarkan sejahtera, karena anaknya Bonaga menjadi pengusaha sukses. Namun sebagai orang kampung yang terbiasa hidup bebas, Naga Bonar masih gagap dengan kehidupan kota besar sebagai orang kaya. Kebiasannya makan dengan tangan sambil mengangkat sebelah kaki di kursi, terus dibawa.
Dalam Naga Naga Naga pun, Naga Bonar (tetap diperankan oleh Deddy Mizwar), kembali harus meninggalkan kampung halamannya di Sumatera Utara, tempat dia memiliki perkebunan sawit, untuk tinggal bersama anak, menantu dan cucunya di Jakarta. Keberangkatan Naga Bonar ke Jakarta karena dia tidak bisa berjauhan dengan cucunya perempuan satu-satunya, Monaga (Cut Bebi Tsabina) yang sudah duduk di bangku SMA.
Monaga gadis yang cantik, karena ia lahir dari rahim perempuan cantik bernama Monita (Wulan Guritno). Meski tidak dijelaskan, nampaklah ada darah indo mengalir dalam diri Bonaga. Berbanding terbalik dengan ciri fisiknya yang sempurna, Monaga memiliki catatan buruk di sekolah. Tidak disiplin, melawan guru dan lebih mengikuti kata hati daripada aturan di sekolah. Akibatnya dia beberapakali harus meninggalkan sekolah. Dalam satu semester saja dia sudah harus pindah tiga kali.
Sebagai seorang ibu, Monita merasa sedih dan kecewa akan kegagalan Monaga, anak semata wayangnya dalam dunia pendidikan. Ia sendiri adalah seorang yang berpendidikan baik, menempuh pendidikan di sekolah terkemuka hingga menjadi dokter. Berbeda dengan Monita, Bonaga justru melihat Monaga sebagai anak yang cerdas dan memiliki sikap. Jadi dia tidak terlalu risau dengan perilaku anaknya di sekolah.
Hal yang sama juga diperlihatkan oleh Naga Bonar. Entah karena terlalu sayang dengan cucu atau merasa memiliki kesamaan sikap, Naga Bonar juga melihat Monaga sebagai anak yang istimewa. Ketika Monaga kesulitan untuk mendapatkan sekolah, Naga Bonar lalu membeli bangunan sekolah yang sudah mau dijual, dan mempekerjakan kembali guru-guru yang sudah bekerja serabutan untuk menyambung hidup.
Begitulah gambaran singkat dalam “Naga Naga Naga” sequel Naga Bonar yang disutradari langsung oleh Deddy Mizwar, pemeran Naga Bonar sejak film “Naga Bonar (1986)” dan “Naga Bonar Jadi 2 (2007)”. Ini untuk kedua kalinya Deddy Mizwar menjadi sutradara merangkap pemain, setelah Naga Bonar Jadi 2 yang naskahnya ditulis oleh Muftar Yasin.
Dari ketiga film tersebut, genre komedi satire tetap menjadi sajian utama. Bedanya adalah setting peristiwa dalam cerita. Naga Bonar mengambil setting perang kemerdekaan ketika kedatangan pasukan Belanda pasca kemerdekaan di Sumatera Utara. Sedangkan dalam Naga Bonar Jadi 2 dan Naga Naga Naga, setting yang ditampilkan adalah kehidupan masyarakat modern perkotaan.
Naga Bonar hidup dalam keluarga berada anaknya, dengan simbol-simbol kesuksesan manusia modern: karier sukses, rumah mewah dan kendaraan mewah. Setting seperti ini sangat umum dalam film-film drama layar lebar maupun sinetron drama televisi Indonesia sejak tahun 2000-an, yang membuat film Indonesia seperti jalan di tempat.
Naga Naga Naga, yang naskahnya ditulis oleh Wiraputra Basir, ciri utama yang menjadi kekuatan film dengan tokoh Naga Bonar, tetap ingin dipertahankan: komedi satir dan karakter Naga Bonar yang berani, patriotik, melankolis dan idealis. Karena itu juga sudah dilekatkan pada Bonaga dan Monaga, anak dan cucu Naga Bonar.
Naga Naga Naga juga tidak ingin melepaskan ciri-ciri yang menjadi kekuatan Naga Bonar, atau setidaknya ingin mengingatkan penonton bahwa film Naga Bonar yang telah meraih 6 Piala Citra pada FFI 2007 memiliki elemen-elemen pendukung yang kuat.
Di film Naga Bonar ada tokoh-tokoh yang cukup menonjol seperti Emak (diperankan oleh Roldiah Mattulesi), Kirana (Nurul Arifin) dan Bujang (Afrizal Anoda). Ketiga orang tersebut mendapat tempat di hati Naga Bonar. Bahkan adengan Naga Bonar yang meratapi kematian akibat ikut berperang, menjadi adegan terbaik Naga Bonar.
Adegan yang seharusnya menggambarkan kesedihan Naga Bonar, justru membuat penonton tertawa terbahak-bahak. Betapa tidak, Naga Bonar sengaja bermain gitar sambil menyanyi untuk meratapi kepergian Bujang. Dia tidak ingin orang-orang mendengar dirinya menangis. Dalam scene itu pulalah lahir sebuah dialog yang terus diingat oleh penonton yang menyaksikan film Naga Bonar ketika itu: “Kubilang jangan bertempur, kau mau bertempur juga. Sekarang, matilah kau!”.
Dalam Naga Bonar Jadi 2 dan Naga Naga Naga, nama ketiga tokoh itu tetap disebut, walau pun yang ditampilkan adalah kubur mereka bertiga yang bedempetan di satu lokasi.
Adegan awal dalam Naga Naga Naga, sama persis dengan Naga Bonar Jadi 2: adegan bermain bola dan Naga Bonar berbicara di depan ketiga orang yang disayanginya. Bedanya, jika di film Naga Bonar Jadi 2, Naga Bonar sendiri yang bermain sepakbola dengan anak-anak, di film Naga Naga Naga, Bonaga yang bermain bola.
Keahlian Naga Bonar dalam mencopet, atau curang dalam bermain catur, kembali dimunculkan dalam Naga Naga Naga, meskipun kemampuannya mencopet kali ini hanya sekedar main-main, dalam lawan main caturnya pun bukan lagi saingannya Mariam untuk memperebutkan Kirana, tetapi ia hanya main bersama anaknya, Bonaga. Lagi dalam adegan ini diperlihatkan bagaimana keahlian Naga Bonar bermain curang, dengan menjepit biji catur untuk mengalahkan Bonaga.
Karakter Naga Bonar yang keras, idealis sekaligus melankolis dan memiliki empati terhadap orang kecil tetap dipertahankan. Naga Bonar tetap dominan di tengah keluarga anaknya, bahkan terhadap karyawan-karyawan Bonaga. Ketika makan bersama, Naga Bonar berhasil memaksa Bonaga dan tiga orang karyawan – yang juga teman Bonaga – untuk makan jengkol.
Empati Naga Bonar terhadap orang kecil juga diperlihatkan ketika itu. Pada saat makan dia melihat seorang gadis cilik pengamen melalui layar CCTV. Ketika Bonaga dan teman-temannya meminta agar mengabaikan hal itu, Naga Bonar langsung marah dan menghentikan makan malamnya. Dia mengkritik Bonaga dan teman-temannya yang tidak peduli dengan rakyat miskin. Setelah Monaga menemui sang pengamen dari balik pintu gerbang dan memberikan uang lembaran seratus ribu rupiah, barulah senyum Naga Bonar mengembang.
Ada dua pokok masalah yang ingin disampaikan dalam Naga Naga Naga. Yang pertama adalah manivestasi rasa cinta seorang kakek pada cucunya yang seringkali subyektif, dan kedua adalah karakter idealis Naga Bonar yang akan menggiring cerita ke dalam gambaran-gambaran satire.
Akan hasil yang dicapai belum terlalu memuaskan. Cerita hanya berputar-putar dalam kehidupan Naga Bonar bersama anak dan cucunya. Banyak adegan yang menyerupai film-film sebelumnya, seperti Naga Bonar main catur; Naga Bonar memperlihatkan keahliannya mencopet; adegan main bola; Naga Bonar di depan makan Emak, Kirana dan Bujang dengan latar belakang perkebunan sawit; serta sikap hormat Naga Bonar kepada Patung Jenderal Sudirman.
Dialog yang hampir mirip dengan dialog dalam film Naga Bonar Jadi 2 muncul lagi dalam Naga Naga Naga ketika Naga Bonar menghormat ke arah patung Jenderal Sudirman, meskipun kali ini yang mengucapkannya Monaga.
Padahal ada bagian yang sebenarnya menarik dan satirenya kena, kala menggambarkan aktivitas di sekolah baru Monaga. Digambarkan bangunan sekolah itu mau dijual karena tidak ada lagi yang mendaftar; sudah menjadi kandang kambing; dan kepala sekolahnya (diperankan oleh pelawak Dedi Gumelar/ Miing) menjadi penambal ban. Lalu ada guru yang memakai sepeda kumbang bernama Umar bin Bakri (Eko Patrio). Sosok guru ini akan menjadi personifikasi tokoh Umar Bakri dalam lagu Umar Bakri yang dinyanyikan oleh Iwan Fals.
Namun penulis naskah tidak mengembangkan bagian ini lebih jauh. Seolah bagian ini hanya ingin menggali unsur komedi dan gambaran satire yang menjadi kekuatan Naga Bonar. Plotnya terasa sempit. Bagian ini ditutup hanya dengan dialog singkat, “Guru-gurunya pada ngojek karena perlu uang untuk bayar cicilan motor!”. Setelah itu selesai, terlalu mudah mengakhiri plot tentang sekolah yang susah payah diihidupkan kembali oleh Naga Bonar.
Sebelumnya digambarkan, bangunan sekolah yang sudah dipasangi plang “Akan Dijual”, dibeli oleh Naga Bonar. Operasionalnya juga dibiayai. Baik perawatan sekolah maupun untuk membayar honor guru. Naga Bonar bahkan meminta empat pengamen teman Monaga, untuk bersekolah di situ. Sayang bagian menarik ini ditutup hanya dengan dialog singkat itu.
Setting kehidupan keluarga modern dalam film ini juga tidak membawa imajinasi ke mana-mana. Apalagi tidak ada keistimewaan dalam kostum maupun make-up pemain. Dialog film juga tidak menampilkan sedikit pun idiom-idiom khas Medan atau Sumatera Utara.
Kita memang tidak pernah tahu apakah Naga Bonar ini orang Batak bernama Bonar bermarga Sinaga atau Naga Bonar itu hanya julukan saja. Sejak film pertama tidak pernah dijelaskan latar belakang suku tokoh utama film ini. Dialog yang digunakan pun menggunakan Bahasa Melayu dialek Medan. Dengan Bahasa Melayu – yang menjadi dasar Bahasa Indonesia – film ini memang jadi bisa lebih diterima secara luas.
Di Sumatera Utara sendiri, Suku Melayu merupakan suku kelima terbanyak, dengan jumlah 5,86 % dalam jumlah populasi, berdasarkan sensus tahun 2010. Suku terbanyak adalah Batak (46,75%), Jawa (33,4%), Nias (6,36%), kemudian Melayu, Cina (2,71%), Aceh dan Minang (2,66%), Aceh (0,97%) dan campuran berbagai suku lainnya (3,29%).
Jika ditanyanya, mana film terbaik dari ketiga film dengan tokoh utama Naga Bonar yang dibintangi oleh Deddy Mizwar?
Harus diakui, Naga Bonar yang naskahnya ditulis oleh Drs. Asrul Sani tetap menjadi film terbaik. Ceritanya lebih utuh, komedinya mengena, karakater para tokohnya kuat, dengan setting yang membuka cakrawala penonton lebih luas. Tidak heran jika Naga Bonar menjadi Film Terbaik FFI 1987 dengan menyabet 6 Piala Citra, meskipun sutradaranya sendiri, MT. Risyaf tidak meraih Piala Citra./ JOURNEY OF INDONESIA