Film Pesantren karya sutradara Shalahuddin Siregar akhirnya resmi masuk di bioskop Indonesia mulai 4 Agustus 2022 mendatang. Film yang dibuat dibuat pada 2015 sebagai film dokumenter ini mengetengahkan Pondok Pesantren Kebon Jambu yang terletak di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat itu menampung lebih dari 2000 santri muda berumur antara 12-22 tahun.
Pondok Pesantren tradisional ini seperti umumnya, namun ia istimewa karena dipimpin oleh seorang perempuan yang akrab disapa Nyai Masriyah Amva yang juga merupakan salah seorang A’wan (Dewan Pakar) PBNU.
Latarbelakang tercetusnya pembuatan film ini bermula dari rasa keprihatinan terhadap image pesantren yang kurang baik. “Padahal sebenarnya dari pesantren lah muncul hal baik dan jauh dari apa yang dikatakan orang-orang di luar,” sebut Shalahuddin pada saat press screening film Pesantren di Epicentrum, 1 Agustus 2022.
Menurut Shalahuddin, karyanya itu bukan merupakan film agama. Film yang dalam Bahasa Inggris berjudul “A Boarding School” ini menceritakan tentang bagimana anak-anak di dalam pesantren. “Ada anak mau masuk SMP tapi tak mampu bayar biaya seragam. Makanya orang tuanya mengirimnya masuk ke sana,” katanya.
Film ini adalah sebuah kisah mencari tahu tentang bagaimana kehidupan para santri di pesantren melalui kisah dua santri dan guru muda di Pondok Kebon Jambu Al-Islamy, sebuah pesantren terbesar dengan 2.000 santri di Cirebon, Jawa Barat.
Risetnya sendiri dimulai tahun 2015 dan 2016. Proses pencarian dana mulai dilakukan pada 2016 dengan mengikuti beberapa forum pendanaan untuk film dokumenter. Di antaranya Asian Side of the Docs di Bangkok dan Doc Edge Kolkata di India pada 2016, serta International Documentary Film Festival (IDFA) Forum di Amsterdam pada 2017.
Ketika itu, film ini berhasil mengamankan kerja sama dengan NHK World dan Aljazeera Documentary Channel, termasuk mendapatkan dana pengembangan sebesar $1500 dari Indonesian Documentary (InDocs) dan Steps International.
Proses syuting film berdurasi 95 menit ini dimulai pada Maret 2017 hingga tahun 2018. Sementara proses editing dilakukan Oktober hingga November 2018 di Berlin, Jerman, dengan melibatkan salah satu editor terbaik di Eropa, yakni Stephen Krumbiegel.
Nah, di kota inilah, Shalahuddin bertemu dengan Lola Amaria dan diputuskan untuk mengambil peran untuk membawa film ini ke bioskop di tanah air. “Tayangnya terbatas di 30 bioskop, itu sudah termasuk 10 layar di Jakarta, mulai 4 Agustus 2022,” kata Lola Amaria yang bertindak sebagai distributor film di bawah Lola Amaria Production.
Tahun lalu, film dokumenter ini menjadi pembuka Madani Film Festival yang berlangsung pada 27 November – 4 Desember 2021 di XXI Epicentrum.
Lola punya alasannya kuat kenapa mau mendistribusikan film dokumenter yang di buat pada 2015 secara komersial. Salah satunya karena Indonesia negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, memiliki 25 ribu pesantren. “Dan selama ini, lembaga pendidikan ini terkesan tertutup, dan banyak stigma negatif yang dilekatkan padanya, salah satunya pesantren menjadi sarang teroris.
“Padahal sebenarnya apa yang kita tahu tentang institusi pendidikan tertua di Indonesia ini?” katanya Lola menyebut isu yang termuat dalam film ini menjadi sangat penting untuk Indonesia. Karena itulah, ia mendistribusikan film ini di jaringan bioskop komersil.
Lola Amaria Production menganggap pesantren tradisional seperti Pondok Kebon Jambu merupakan salah satu benteng pertahanan masa depan untuk menangkal ancaman intoleransi di Indonesia.
Film Pesantren, oleh Lola Amaria Production, juga sudah diputar dalam program Sinema Ramadan yang dibuat bekerja sama dengan Yayasan Bumi Karya Lestari. Program Sinema Ramadan adalah pemutaran film Pesantren di sepuluh pesantren di Pulau Jawa selama Ramadan 2022.
Film Pesantren terpilih dari sekitar 3.000 film, yang terdapat di dalam program di Luminous, sebuah program yang menurut IDFA adalah film-film yang mampu menenggelamkan para penontonnya dalam pengalaman sinematik: digerakkan oleh tokoh, cerita, maupun pembuat film. Luminous hadir untuk memulihkan keindahan relasi, ekspresi dan rasa empati manusia dan membuat yang universal menjadi nyata lewat individu-individu dalam film-fim terpilih.
Menurut juru program Luminous, Sarah Dawson, gaya observasional sutradara memberi kekuatan kepada anak-anak muda yang menjadi subyek film Pesantren ini sehingga mereka mampu menceritakan kisah mereka sendiri. “Kita bisa belajar banyak dari guru-guru maupun pelajar dalam film ini, apapun kepercayaan atau identitas kita. Buat saya sendiri, film ini membuat saya merasa lebih punya harapan tentang dunia,” kata dia.
Politisi Muhaimin Iskandar atau Cak Imin yang terlihat hadir sebagai penonton dalam press screening menyebut, menyaksikan film Pesantren, seperti melihat kembali kenangan di masa kecil “Situasinya ya persis seperti itu!”
Ia menyebut film Pesantren sebagai film yang baik, dan layak ditonton oleh beragam kalangan. Terlebih jika penonton datang dari luar lingkungan pesantren./ JOURNEY OF INDONESIA