JAKARTA – Eksil yang berasal dari kata Inggris “exile” atau terasing, memiliki konotasi pahit bagi sebagian bangsa Indonesia. Ini tidak hanya terkait dengan peristiwa politik pada 1965 yang dikenal sebagai “Gerakan 30 September,” tetapi juga merupakan kisah nyata para mahasiswa yang terpaksa meninggalkan tanah air mereka.
Selain terjadi pembunuhan massal, dan penangkapan serta pemenjaraan terhadap para anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia, di luar negeri sejumlah pelajar dan mahasiswa yang tengah mengikuti pendidikan dan mendapat bea siswa dari Pemerintahan di bawah Presiden Soekarno juga mengalami penderitaan.
Lebih dari tiga dekade, mereka terjebak di negara asing, kehilangan kewarganegaraan, keluarga, dan kerabat, serta harus berjuang untuk hidup tanpa tujuan yang pasti, berpindah-pindah negara seperti China, Uni Soviet, Belanda, Cheko-Slovakia, Jerman, ataupun Swedia.
Kejadian ini menjadi latarbelakang dari seorang Lola Amaria, mengangkat dan mendokumentasikan kisah para mahasiswa yang terjebak menjadi eksil antara lain Asahan Alham, Sarjio Mintardjo, I Gede Arka, Hartoni Ubes, Chalik Hamid, Tom Iljas, dan beberapa nama lain. Mereka ini hanya segelintir nama dari puluhan nama lainnya yang hilang begitu saja.
Film ini memuat wawancara para eksil yang tidak bisa pulang ke Indonesia karena peristiwa politik, Perang Dingin 1960-an. Pemerintah Indonesia saat itu mengirim sejumlah mahasiswa ke Uni Soviet (Rusia) dan Tiongkok. Setelah peristiwa 1965 pecah, mereka tak bisa pulang ke Indonesia.
Film dokumenter berdurasi 119 menit ini, yang diproduksi oleh Lola Amaria Production selama beberapa tahun di enam negara, menggunakan metode penggalian arsip dan wawancara para eksil untuk mengungkapkan sejarah traumatis mereka. Lola Amaria bersama Gunawan Rahardja menulis skenario film ini, dengan bantuan penyunting gambar Shalahudin Siregar.
Film ini mencatat perjalanan panjang para eksil yang hidup tanpa status, terputus dari keluarga, dan mencari tempat untuk menetap. Wawancara dilakukan dengan penuh kepedihan, seperti ungkapan Tom Iljas, salah satu tokoh dalam film, yang menyatakan, “Tubuh saya memang di sini, Swedia. Tapi, pikiran saya tetap di sana, Indonesia.”
Lola Amaria berhasil menghadirkan suasana yang natural dalam film ini dengan memilih lokasi wawancara yang beragam, kadang tanpa pencahayaan optimal, tetapi mampu memperlihatkan kehidupan sehari-hari para eksil dengan jelas.
Film Eksil tidak hanya menawarkan perspektif baru terhadap sejarah yang hampir terlupakan, tetapi juga mengajak penonton untuk tidak mudah memberikan stigma kepada seseorang. Film ini mengingatkan bahwa stigma bisa membekas seumur hidup dan bahkan menghilangkan hak hidup seseorang.
Pentingnya pesan yang disampaikan dalam film ini membuat Lola Amaria melakukan aksi solidaritas untuk Palestina pada acara pemutaran film terbarunya ini. Dalam acara tersebut, Lola berhasil menggalang dana sebesar Rp 41 juta, yang disumbangkan ke Embassy of The State of Palestine melalui pembelian tiket film Eksil.
Membeli tiket film Eksil sekaligus penggalangan dana menghasilkan sumbangan sebesar Rp 41 juta yang langsung masuk ke rekening resmi Bank Mandiri milik Embassy of The State of Palestine. “Total pengumupulan dana mala mini yang dibacakan tadi ada diangka 41 juta. Tapimasih terus berjalan dan tidak berhenti di sini. Terpenting bagi kita, mereka sudah mau berdonasi. Bersyukur sekali, banyak yang antusias untuk berdonasi membantu saudara-saudara kita di Palestrina,” kata Lola Amaria usai pemutaran film Eksil di XXI Epicentrum, Kuningan Jakarta Selatan, Kamis (7/12/2023) malam.
“Mereka (Dubes Palestina) senang dengan pemutaran film Eksil ini. Mereka tahu, banyak orang Indonesia yang mensupport kemerdekaan untuk Palestina agar supaya perang ini berakhir. Saya pribadi prihatin dengan banyaknya korban akibat perang ini. Banyak korban yang meninggal akibat perang ini. Mulai dari wanita, anak-anak juga bayi. Saya melihat ini pembunuhan terhadap bayi-bayi, seperti ingin menghilangkan generasi di Palestina,” sambungnya.
Menurut Lola, film Eksil menceritakan tentang khususnya para eksil atau orang-orang yang diasingkan dan tidak bisa kembali ke Indonesia akibat G30S/PKI juga menggambarkan kepedihan para eksil yang akhirnya memilih untuk berpindah kewarganegaraan, namun hatinya tetap Indonesia.
“Proses pembuatan film ini panjang dan lama sekali. Untuk bertemu dengan mereka (Para Eksil) tidak gampang. Saya menggarapnya mulai 2013 sampai 2015. Di tengah perjalanan, ada narasumber yang meninggal karena memang sudah tua. Karena kondisi itulah akhirnya saya nekat membawa tim ke Eropa selama 3 bulan untuk mengambil dan wawancara mereka semua yang ada di film ini,” terang Lola Amaria.
“Dan setelah itu penyelesaiannya memang agak tertunda cukup lama karena ada banyak proses yang kami jalankan. Film ini bukan untuk mereKA yang mengerti soal 65 (Peristiwa 1965). Tapi untuk generasi saya dan generasi di bawah saya, yang tiap tahun dicekoki film G30S/PKI. Kayaknya mereka ini harus tahu peristiwa itu dari sisi lain (tentang peristiwa tersebut). Dan (di film ini) narasumber adalah mereka dibuang nggak boleh pulang (ke Indoensia). Mereka punya cerita yang jujur tentang itu,” ungkap Lola.
Film Eksil tayang perdana 27 November 2022 melalui program kompetisi JAFF Indonesian Screen Awards festival film Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2022, dan meraih penghargaan kategorti Best Film, juga meraih film dokumenter panjang terbaik Piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI) 2023.
Lola Amaria berharap, XXI atau bioskop lainnya secepatnya memberikan ruang agar film Eksil untuk bisa disaksikan masyarakat luas./ JOURNEY OF INDONESIA