PROBOLINGGO – Suasana dingin di ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut berubah hangat ketika Sal Priadi melangkah ke atas panggung Jazz Gunung Bromo Series 2 pada Sabtu (27/7/2025) malam. Musisi asal Malang ini hadir menjadi penutup yang menyentuh dalam festival musik yang dikenal dengan warna jazz-nya.
Tepat pukul 21.40 WIB, lampu panggung meredup dan suasana mendadak hening. Dari balik panggung berbentuk setengah lingkaran berlatar instalasi bambu, Sal muncul bersama band dan dua penyanyi latarnya, Natania Karin dan Syanine Prameswari. Mereka membuka penampilan dengan lagu ‘Misteri Minggu Pagi’ yang langsung mendapat sambutan antusias Jamaah Al-Jazziyah sebutan bagi penonton setia Jazz Gunung.
Meski suhu udara menyentuh 11 derajat Celcius, penampilan Sal tak kehilangan hangatnya. Ia tidak hanya menyanyikan lagu-lagunya, tapi membangun suasana musikal yang menyeluruh. Lagu demi lagu dari album Lagu Cinta Vol. 1 hingga repertoar dari tur Zuzuzaza dibawakan berurutan seperti potongan cerita yang saling terhubung seperti ‘Dari Planet Lain’, ‘Zuzuzaza’, ‘Kita Usahakan Rumah Itu’, ‘Besok Kita Pergi Makan’, hingga ‘Foto Kita Blur’.
Satu momen yang paling menyentuh terjadi ketika intro lagu ‘Gala Bunga Matahari’ dimainkan. Sal mengajak seluruh penonton untuk mengenang orang-orang tercinta yang telah tiada. “Kita dedikasikan waktu yang singkat ini untuk berdoa, buat mereka yang telah meninggalkan kita,” ucapnya, disambut keheningan yang hening namun khusyuk. Banyak dari penonton yang terlihat menitikkan air mata ketika menyanyikan lagu ini.
Sal Priadi menyadari betul bahwa dirinya bukan musisi jazz. Namun ketika diundang tampil dalam festival bertema jazz, ia selalu berusaha membawa sesuatu yang selaras.

“Tentu saja aku bukan musisi jazz. Tapi setiap kali tampil di acara jazz, aku bertanya pada diriku sendiri, ‘Apa yang bisa aku bawa agar tetap sejalan dengan semangat acara ini?’” ujar Sal ketika ditemui sebelum naik panggung.
Ia mengaku percaya bahwa kehadirannya di panggung Jazz Gunung bukan tanpa pertimbangan. “Aku percaya, aku dipilih untuk tampil pasti ada alasan tertentu. Mungkin supaya pendengar aku bisa mengenal musik jazz lebih jauh,” katanya. Ia juga menambahkan bahwa kolaborasi lintas genre justru bisa memperluas cakrawala pendengar dan membangun ekosistem musik yang lebih hidup.
Malam itu, Sal tak hanya bernyanyi dari panggung. Dalam penutup lagu ‘Dalam Diam’, ia turun ke area penonton, menaiki kursi kosong agar bisa dilihat semua orang, sambil menyapa hangat penonton yang menyambutnya dengan tepuk tangan riuh. Lagu ‘I’d Like to Watch You Sleeping’ sebelumnya menjadi jembatan emosional yang menyatukan suasana antara reflektif dan intim.
Dengan total sepuluh lagu yang dibawakan, penampilan Sal menjadi penutup manis Jazz Gunung Bromo 2025. Meski bukan bagian dari akar jazz, ia berhasil menghadirkan semangat musikal yang jujur dan relevan. Penampilannya bukan sekadar konser, tapi pengalaman puitik yang mengajak penonton tidak hanya mendengar, melainkan turut merasa./ JOURNEY OF INDONESIA | iBonk