Goethe-Institut Indonesia baru-baru ini menyelenggarakan pameran Serambi GoetheHaus edisi kedua bertajuk “Speaking Through Fabric”. Pameran ini menampilkan karya-karya seniman tekstil Lusiana Limono yang berasal dari Malang di mulai pada 11 November hingga 3 Desember 2023.
Kreasi Lusiana mengajak kita untuk mempertanyakan ide-ide yang sudah mapan dan mempertimbangkan kembali potensi tekstil dan kerajinan tangan dalam membentuk kesadaran kolektif kita.
Lusiana mulai membuat karya-karya ini selama penelitian pascasarjana di Institut Seni Jakarta dari tahun 2019 hingga 2022, yang dikurasi oleh praktisi seni Christine Toelle. Pameran ini dibagi menjadi beberapa segmen dengan narasi yang dapat diuraikan melalui subtitle seperti ‘ Embroidering Space, Knitting Stories, Weaving Meaning, Binding Time.’Ungkapan-ungkapan ini mencerminkan semangat dan pengalaman hidup sang seniman.
“Berbicara Melalui Kain” bertindak sebagai katalisator untuk dialog, memicu diskusi tentang keberlanjutan, identitas, dan peran tradisi dalam dunia yang berkembang pesat di bawah industrialisasi.
Dr. Ingo SchöIngh, Kepala Program Budaya di Goethe-Institut Indonesia mengungkapkan, “Kombinasi produksi tenun yang melibatkan perempuan dan praktik aktivis merepresentasikan kain sebagai jaringan yang menggabungkan produksi keringat dan berfungsi sebagai kritik terhadap produksi industri. Mereka mencakup perawatan, menjembatani bidang estetika dan kehidupan sehari-hari. Karya Lusiana secara ekspresif memadukan aspek-aspek tersebut tanpa kehilangan karakternya yang menggugah pikiran.”
Latar belakang keluarga Lusiana berkisar pada kain: ibu dan beberapa bibinya adalah penjahit, sedangkan ayah dan keluarga suaminya adalah pedagang kain. Lusiana mencatat, “Kain adalah sesuatu yang tertanam dalam diri saya. Di sana, saya melihat ruang isu antara perempuan, kain, dan ruang domestik.”
Keragaman teknik dan bahan ramah lingkungan yang digunakan dalam karya Lusiana mencerminkan kekayaan kain dan bahan alami yang membentuk dunia ‘modern’ kita. Salah satu bahan yang digunakan Lusiana adalah rempah-rempah. Christine, kurator, menjelaskan bahwa kehadiran rempah-rempah dalam narasi sejarah perempuan Indonesia dapat ditemukan baik dalam narasi ‘agung’, sebagai simbol komoditas kolonial, maupun dalam cerita-cerita’ kecil ‘dan’ pinggiran’.
Christine menambahkan, “Pengetahuan dan budaya yang tersimpan dalam materi-materi tersebut menjadi salah satu cara untuk mengkritik hierarki antara terkait dan antar perempuan, ruang domestik, dan produksi narasi sejarah. Rempah-rempah, ramah dalam konteks dapur, digunakan sebagai landasan dalam karya akademik dan presentasi pameran formal.”
Pameran ini dibagi menjadi tiga bagian: Penelitian Akademis tentang domestikasi & keberlanjutan; Subjek & Keluarga; dan Sejarah, Tradisi & Kolektivitas.
Pada bagian ‘Academic Research on Domestication & Sustainability’, Lusiana menganyam konsep domestikasi, keberlanjutan, dan feminitas menggunakan kain sebagai medianya. Karya-karya di bagian ini mendemonstrasikan keahlian yang sering dituntut dari seniman tekstil. Dia menggunakan teknik seperti merajut, tie-dye, alat tenun peniti, menenun, menyulam, dan memintal tangan.
Bagian ‘Subjek & Keluarga’ menggali konsep diri dan hubungan keluarga yang menginspirasi Lusiana sebagai seorang anak perempuan dan seorang ibu. Topik-topik seperti rumah dan keluarga menjadi skala lain yang terkait dengan keberadaan perempuan.
Sementara itu, di area ‘Sejarah, Tradisi & Kolektivitas’, pengunjung diajak untuk menyatukan kembali pemahaman dan sorotan yang umumnya terkait dengan bagaimana posisi perempuan.
Jika tertarik, pameran ini dapat dikunjungi setiap hari Selasa hingga Minggu mulai 11 November hingga 3 Desember 2023 di GoetheHaus Jakarta, pada pukul 12.00- 20.00 WIB./ JOURNEY OF INDONESIA