JAKARTA – Mantan Menteri BUMN, Ir. Laksamana Sukardi, memaparkan lika-liku kontroversial dalam karier politiknya melalui peluncuran buku berjudul “Belenggu Nalar”. Dalam acara diskusi di Nusantara Room, The Dharmawangsa Hotel, Jakarta Selatan, Senin (15/1/2024), Laksamana menceritakan perjuangannya terkait penjualan kapal tanker milik Pertamina pada tahun 2004.
Indonesia, sebagai negara hukum, seharusnya menjunjung tinggi aturan hukum dalam segala kebijakan dan penyelenggaraan negara. Sayangnya, menurut Laksamana, realitasnya berbeda. Hukum kerap kali disalahgunakan demi kepentingan politik dan kekuasaan.
Laksamana Sukardi menyoroti pengalaman pahitnya terkait penjualan kapal tanker Pertamina yang meskipun telah disetujui Departemen Keuangan, mengakibatkannya terkriminalisasi. Menurutnya, hukum menjadi alat untuk memuaskan keinginan kekuasaan, dan argumen serta bukti yang diajukan menjadi sia-sia.
Pada saat itu, Indonesia menghadapi krisis keuangan, dan Pertamina sebagai kontributor keuangan negara, terpaksa menjual kapal tanker yang sedang dalam sengketa. Kapal itu sendiri sedang menjadi sita jaminan dalam sengketa antara pemerintah dan PT. Karaha Bodas. Kapal yang dibangun dengan biaya 130,8 juta US dollar, terjual 184 juta US dollar. Pertamina untung 53,2 US dollar.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan audit investigasi atas penjualan kapal tanker tersebut, dan dinyatakan tidak merugikan negara.
Tetapi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai penjualan tanker itu telah merugikan negara. KPPU yang mendengar pernyataan seorang ahli mengatakan, negara mengalami kerugian berkisar 20 juta dollar hingga Rp.504 miliar. “Celakanya ahli yang dimintai pendapat oleh KPPU hanya salesman piano, yang mengeluarkan harga taksiran jauh lebih tinggi, tanpa dasar yang jelas. Jadi saya lihat memang ada niat untuk memojokkan saya. Nalar mereka terbelenggu karena, demi birahi kekuasaan. Saya tidak tahu itu atas perintah siapa,” kata Laksamana.
Komisi III DPR yang tidak puas dengan putusan KPK, lalu membentuk Pansus. Ternyata putusan Pansus hanya menyontek putusan KPPU. Komisi III lalu meminta Kejaksaan Agung mengambil alih penanganan. Pihak Kejagung yang begitu bersemangat, karena mendapat dukungan dari Komisi III DPR, sempat mempersangkakan Laksamana Sukardi. Namun karena ada persoalan di internal Kejaksaan Agung, penanganan kasus kapal tanker tersebut dihentikan. Dalam putusan Peninjauan Kembali MA menyatakan putusan KPPU salah.
“Saya lihat di sini DPR terbelenggu nalar. Mereka tahu KPK sudah mengatakan tidak ada kerugian negara, mereka tetap ngotot. Kejagung yang mendapat dukungan DPR tetap melakukan penyelidikan. Dalam eforia reformasi, hakim ternyata takut memutus perkara secara obyektif,” kata Laks.
Advokat Petrus Selestinus mengatakan, Laksamana dan Megawati adalah tokoh yang berjasa terhadap reformasi, walau pun yang muncul sebagai tokoh reformasi, orang lain.
“Ketika itu Pak Laks justru dikriminalisasi justru oleh teman-temannya sendiri di Komisi III, terutama dari PDIP dan Demokrat. Teman-temannya di Komisi III sebagai aktor. Mereka mendesak KPK mentersangkakan Pak Laks. Padahal KPK sudah mengatakan tidak menemukan kerugian negara, karena tidak ada harga pembanding Di situ Komisi III marah, lalu
Meminta Jaksa Agung menangani peniualan VLCC ini. Padahal harusnya KPK,” kata Petrus.
Anas Urbaningrum menilai bahwa kasus yang menimpa Laksamana Sukardi adalah upaya untuk menghentikan karier politiknya. Waktu itu, Laksamana, sebagai politikus muda berpotensi, dihadapkan pada stempel korupsi sebagai alat untuk meruntuhkan masa depan politiknya.
Dalam bukunya “Belenggu Nalar,” Laksamana Sukardi menggambarkan perjalanan pahitnya sebagai ilustrasi nyata bagaimana kekuasaan dan politik dapat membelenggu nalar dan keadilan di Indonesia. Upaya menjaga kemerdekaan nalar dan keadilan tetap menjadi tantangan di tengah gejolak politik./ JOURNEY OF INDONESIA