JAKARTA — Dalam dunia seni rupa kontemporer Indonesia yang semakin dinamis, pameran kolektif tak sekadar jadi medium estetika, melainkan juga ruang perenungan dan penyembuhan. Di tengah riuhnya lanskap pascapandemi, seniman visual Ryan LH mengajak publik untuk berhenti sejenak, menyelami luka-luka batin, dan merajut ulang keterpisahan melalui karya terbarunya.
Berlokasi di Semesta’s Gallery, Jakarta, pameran bertajuk “NGE-HENG! Refleksi Mental” berlangsung sepanjang 9 hingga 31 Agustus 2025. Pameran ini menjadi volume kedua dari program lintas kota dan lintas negara, menghadirkan 35 seniman dari berbagai latar budaya, termasuk Kopenhagen dan Mesir. Medium yang digunakan pun beragam mulai dari instalasi, fotografi, hingga karya dua dimensi menyuarakan spektrum gagasan yang luas dan intim.
Ryan LH, seniman kelahiran 1974 yang menempuh pendidikan di Fakultas Seni Media Rekam ISI Yogyakarta, tampil dengan karya bertajuk “Terikat, Terkait” (2024). Karya berbentuk UV Print di atas aluminium composite ini terbagi menjadi dua panel besar, masing-masing berukuran 100 x 166 cm, dengan tampilan visual yang retak, terkelupas, dan disusun dalam dominasi warna biru dan kuning.
“Saya memperlakukan karya seperti tubuh rentan namun bisa dirawat,” ujar Ryan, yang telah lima kali menggelar pameran tunggal sejak 2021.
Salah satu elemen paling mencolok dari karya tersebut adalah kawat yang menjalin celah antara dua panel. Di titik inilah, makna personal dan universal bersilangan. Kawat yang tampak seperti menjahit luka menjadi metafora akan usaha penyatuan kembali setelah keterpisahan. “Itu bukan sekadar teknik visual,” ungkap Ryan, “tetapi pernyataan tentang bagaimana kita mengelola trauma, mengingat, dan bertahan.”
“NGE-HENG! Refleksi Mental” sebagai tajuk pameran merujuk pada istilah populer yang menggambarkan kondisi mental yang ‘macet’ atau buntu. Namun, dalam konteks ini, istilah tersebut diperdalam menjadi cerminan dari kebingungan kolektif yang dialami masyarakat pasca pandemi, saat tekanan sosial, kelelahan informasi, dan disorientasi identitas menjadi realitas sehari-hari.
Melalui pendekatan tekstural yang khas, Ryan mengajak penonton untuk tidak sekadar melihat karya, tetapi merasakannya. Permukaan lapuk, cat yang mengelupas, dan kesan usang dalam visualnya bukan sekadar estetika, tetapi juga simbol dari waktu, luka, dan sejarah personal yang membekas.
Karya Terikat, Terkait hadir sebagai bentuk kesadaran akan keretakan, sekaligus upaya menyulam harapan di atasnya. Ryan, yang selama bertahun-tahun menjelajahi kota-kota besar dengan karya eksperimentalnya, memperlihatkan bahwa seni bisa menjadi ruang pemulihan emosional, bagi individu maupun masyarakat./ JOURNEY OF INDONESIA | iBonk