JAKARTA – Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) menyatakan dukungan penuh terhadap program Apotek Desa yang menjadi bagian dari arahan Presiden Prabowo Subianto melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih.
Program ini dinilai sebagai langkah strategis untuk memperluas akses pelayanan kesehatan dan kefarmasian yang terjangkau hingga ke desa-desa di seluruh Indonesia.
Ketua Umum Pengurus Pusat IAI, apt. Noffendri Roestam, S.Si, menilai bahwa keberadaan apotek di tingkat desa dapat menjadi solusi konkret dalam menjawab kesenjangan akses obat dan edukasi kesehatan masyarakat. Dalam rapat pengurus harian IAI yang digelar di Jakarta pada Selasa, 15 April 2025. Dirinya menyampaikan bahwa sebanyak 80.000 desa dan kelurahan di Indonesia berpotensi menjadi lokasi pendirian Apotek Desa melalui koperasi Merah Putih.
Namun, menurut Noffendri, keberhasilan program ini sangat ditentukan oleh tata kelola dan kesiapan sumber daya manusia. Ia mengingatkan agar program ini tidak hanya sebatas rencana ambisius di atas kertas, tetapi juga harus ditopang oleh implementasi yang konkret dan terstruktur. Untuk itu, IAI berinisiatif menggelar diskusi internal guna menyusun masukan serta strategi optimalisasi program tersebut.
Salah satu tantangan yang mencuat dalam diskusi adalah keterbatasan jumlah apoteker di puskesmas. Ketua Hisfarkesmas (Himpunan Seminar Farmasi Kesehatan Masyarakat), apt. Maria Ulfah, mengungkapkan bahwa berdasarkan data tahun 2023, baru sekitar 68 persen dari 10.300 puskesmas di Indonesia yang memiliki apoteker.
Sementara sisanya masih diisi oleh tenaga vokasi farmasi atau tenaga kesehatan lainnya. Padahal, menurutnya, peran apoteker sangat krusial dalam menjamin standar pelayanan kefarmasian yang berkualitas, termasuk dalam pengelolaan keuangan dan pengadaan obat yang kini telah terintegrasi dengan e-katalog versi 6 yang kompleks.
Dalam konteks regulasi, Wakil Ketua Umum PP IAI Bidang Halal dan JKN, dr. apt. Abdul Rahem, juga mengingatkan bahwa apotek adalah sarana praktik kefarmasian yang harus dijalankan oleh apoteker. Ia menegaskan bahwa prinsip dasar ini tidak boleh digeser oleh kepentingan jangka pendek atau kelonggaran regulasi yang bisa merugikan mutu pelayanan.
Senada dengan hal tersebut, apt. Nasrudin dari Bidang Advokasi dan Regulasi PP IAI menambahkan bahwa pengelolaan apotek desa harus mengedepankan standar pelayanan, manajemen obat, hingga etika profesi.
Tak berbeda jauh, apt. Dettie Yuliati, Wakil Ketua Umum Bidang Kerjasama, menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara aspek bisnis dan pelayanan. “Apotek desa jangan hanya jadi tempat jual beli obat, tetapi juga pusat edukasi bagi masyarakat tentang penggunaan obat yang tepat,” ujarnya.
Ketua Hisfarma, apt. Surya Wahyudi, menekankan pentingnya kajian kelayakan sebelum pendirian apotek dilakukan secara masif. Ia menyebut bahwa tidak semua desa langsung siap memiliki apotek desa. Karena itu, perlu studi mendalam untuk menentukan desa mana yang sudah layak dan mana yang perlu penguatan terlebih dahulu. Hisfarma sendiri siap mendukung melalui penyediaan studi kelayakan, sistem manajemen, hingga layanan farmasi klinik.
Sementara itu, ketersediaan tenaga apoteker di desa menjadi tantangan tersendiri. Namun apt. Noffendri optimistis bahwa apoteker bersedia ditempatkan di desa apabila ada jaminan kesejahteraan dan keamanan kerja. Ia merujuk pada Permenkes No. 74 Tahun 2016 yang membuka peluang apoteker untuk terlibat langsung dalam pelayanan farmasi klinik dan kegiatan home care di tingkat puskesmas.
Apt Noffendri Roestam juga menggarisbawahi solusi yang ditawarkan Menkes Budi Gunadi Sadikin sebagai sebuah ide yang cerdas. “Menkes menegaskan, tidak perlu dibuat regulasi baru, cukup mengoptimalkan sarana yang sudah ada. Menurut Menkes ada 54.000 sarana kesehatan baik berupa puskesmas, puskesmas pembantu, dan posyandu yang dapat diintegrasikan mendukung program Apotek Desa/Kelurahan ini. Tugas IAI adalah bagaimana menyiapkan tenaga apoteker untuk mendukung program ini”, ungkap apt Noffendri.
Di sisi lain, IAI juga mengusulkan agar perekrutan apoteker untuk program ini dilakukan secara lebih spesifik, misalnya dengan skema tugas khusus bagi apoteker fresh graduate yang ditempatkan langsung di desa melalui mekanisme PPPK atau CPNS berbasis desa, bukan kecamatan. Selain itu, program edukasi Dagusibu (Dapatkan, Gunakan, Simpan, dan Buang Obat dengan Benar) akan dijadikan pendekatan klinis yang dapat mendukung edukasi masyarakat desa.
Kolaborasi dengan Puskesmas Pembantu juga disarankan agar Apotek Desa tidak berdiri sendiri. Apoteker dapat bekerja bersama bidan dan perawat, serta berkoordinasi dengan BPJS Kesehatan untuk mendukung sistem rujukan dan pembiayaan layanan.
Sebagai bagian dari solusi pengadaan obat murah, IAI juga mendorong dihidupkannya kembali program Obat Serbu (Serba Seribu) yang pernah dijalankan oleh Indofarma. Ketua Umum IAI meyakini bahwa inisiatif ini tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat, tetapi juga dapat membantu BUMN farmasi nasional bangkit kembali. “Kami percaya BPOM akan mendukung inisiatif ini demi kepentingan masyarakat luas,” pungkas apt. Noffendri.
Dalam diskusi yang juga dihadiri oleh Wakil Sekjen Dr apt Yusransyah dan apt Dra Tresnawati, serta Kepala Badiklat apt Totok Sudjianto ini juga menyoroti ketersediaan apoteker yang mau bekerja di desa.
Dengan komitmen kuat dari seluruh jajaran IAI dan dukungan dari pemangku kepentingan, program Apotek Desa diharapkan mampu menjadi tonggak penting dalam pemerataan pelayanan kefarmasian nasional yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat, hingga ke pelosok desa di Indonesia./ JOURNEY OF INDONESIA | iBonk