JAKARTA – Adanya kekerasan di satuan pendidikan dapat berdampak negatif bagi anak, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial. Secara fisik, kekerasan dapat menyebabkan anak mengalami luka-luka, bahkan kematian. Secara psikologis, kekerasan dapat menyebabkan anak mengalami trauma, kecemasan, dan depresi. Secara sosial, kekerasan dapat menyebabkan anak mengalami kesulitan bersosialisasi dan memiliki rasa percaya diri yang rendah.
Apalagi saat ini kasus kekerasan di satuan pendidikan banyak bermunculan kasus perundungan, aksi kekerasan fisik antar siswa, atau juga pelecehan seksual pada siswa dan siswi. Kekerasan pada satuan pendidikan masih menjadi masalah besar dan harus dituntaskan. Berdasarkan hasil Asesmen Nasional (AN) tahun 2021 dan 2022 atau Rapor Pendidikan 2022 dan 2023, sebanyak 24,4 persen peserta didik mengalami berbagai jenis perundungan (bullying).
Dengan latar belakang tersebut, maka Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menyelenggarakan Seminar Nasional Pencegahan dan Penanganan Kekerasan pada Satuan Pendidikan, dengan tema “Gotong Royong Mewujudkan Satuan Pendidikan yang Kondusif dan Tanpa Kekerasan”, di Aula Heritage Kantor Kemenko PMK, pada Selasa (24/10/2023).
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kemenko PMK Warsito menjelaskan, kekerasan di satuan pendidikan merupakan masalah yang kompleks dan membutuhkan upaya yang komprehensif untuk mencegahnya. “Pemerintah, sekolah, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman bagi semua anak,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Warsito menyampaikan, terdapat 4 faktor yang mendasari terjadinya kekerasan yang dilakukan anak di satuan pendidikan. Pertama, dari sisi karakter anak itu sendiri memiliki karakter agresif; kedua, pola asuh keluarga dan orang tua; ketiga, lingkungan tempat tinggal anak; keempat, pengaruh media sosial.
Warsito menyampaikan, untuk mencegah berulangnya kasus kekerasan di satuan pendidikan, maka harus dilakukan tindakan dari hulu. Menurutnya, pencegahan supaya kekerasan tidak terjadi harus dilakukan sejak dini di lingkungan keluarga, dan dari sisi tenaga pendidik.
“Dari sisi keluarga perlu ada sosialisasi dan pendidikan pranikah bagaimana menangani anak, membentuk psikis anak yang baik. Kemudian dari sisi pendidik harus bisa memahami psikis anak didik dan menanamkan nilai-nilai yang baik di sekolah,” ujarnya.
Warsito juga mengatakan, pengaruh gadget dan media sosial juga menentukan terbentuknya karakter anak-anak dan bisa menjadikan anak pelaku kekerasan. Menurutnya, bila anak-anak banyak terpapar konten negatif di media sosial bisa membentuk karakter anak menjadi tidak baik. “Karenanya perlu ditangani secara masif, dari orang tua harus bisa mengawasi mendampingi anak-anak dalam menggunakan gadget dan media sosial. Kemudian dari sekolah juga harus memiliki regulasi penggunan gawai pintar,” ucapnya.
Dalam seminar nasional pencegahan dan penanganan kekerasan pada satuan pendidikan, dengan tema “Gotong Royong Mewujudkan Satuan Pendidikan yang Kondusif dan Tanpa Kekerasan”, dibahas beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kekerasan di satuan pendidikan, antara lain:
- Pembentukan lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman. Lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman merupakan salah satu faktor penting untuk mencegah kekerasan. Sekolah harus menciptakan
lingkungan yang kondusif bagi semua peserta didik, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya. - Pemberdayaan peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan. Peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan harus memiliki pemahaman yang baik tentang kekerasan dan cara-cara
mencegahnya. Sekolah perlu memberikan pelatihan dan edukasi tentang kekerasan kepada semua pemangku kepentingan. - Penyediaan layanan perlindungan anak. Sekolah perlu menyediakan layanan perlindungan anak untuk menangani kasus kekerasan yang terjadi. Layanan ini dapat berupa konseling, pendampingan, dan advokasi.
Kemudian, beberapa hasil rekomendasi kebijakan disepakati antara lain
- Meningkatkan sosialisasi dan pemahaman tentang Permendikbud 46/2023 kepada semua pemangku kepentingan Permendikbud 46/2023 merupakan peraturan yang mengatur tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan. Namun, sosialisasi dan pemahaman tentang peraturan ini masih perlu ditingkatkan.
- Mengeksekusi sanksi tegas kepada pelaku kekerasan di satuan pendidikan. Sanksi tegas kepada pelaku kekerasan merupakan salah satu cara untuk mencegah kekerasan berulang. Sanksi yang diberikan harus sesuai dengan tingkat keparahan kekerasan yang dilakukan.
- Meningkatkan peran pemerintah daerah dan masyarakat dalam pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan.
Pemerintah daerah dan masyarakat juga memiliki peran penting dalam mencegah dan menangani kekerasan di satuan pendidikan. Pemerintah daerah dapat memberikan dukungan anggaran dan kebijakan untuk pencegahan kekerasan. Masyarakat dapat berperan sebagai pengawas dan pemberi informasi tentang kasus kekerasan.
Sebagai informasi, kegiatan seminar nasional ini menghadirkan narasumber Inspektur II, Itjen Kemendikbudristek Sutoyo, Direktur GTK Madrasah Kemenag Muhammad Zain, AKBP Dr. Rita Wulandari Wibowo, S.I.K., M.H, dari Bareskrim POLRI, dan Wasekjen PB PGRI Dudung Abdul Qodir. Kemudian Sebagai penanggap Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak, Kemen PPPA Nahar, S.H., M.Si, Psikolog Forensik Prof. Dr. Reza Indragiri Amriel, M.Crim., M,Sc., Ph.D, Serta Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Dr. Aris Adi Leksono, M.Pd. Kegiatan ini dimoderatori oleh Jazziray Hartoyo, Asisten Deputi Pendidikan Anak Usia Dini, Dasar dan Menengah.
Seminar ini pun dihadiri oleh seluruh pemangku kepentingan yakni, Unit Eselon I dan II Kemendikbudristek, KPPPA, Kemanag, Kepala Dinas seluruh Indonesia, Kepala Kanwil/kantor Kemenag, perwakilan ikatan Guru Indonesia, HIMPAUDI, Forum Anak Pusat, dan Kepala Sekolah Seluruh Indonesia. Dihadiri 150 orang secara luring dan kurang lebih 1.000 orang melalui zoom dan YouTube./ JOURNEY OF INDONESIA