JAKARTA – Perundungan atau bullying masih menjadi isu serius di Indonesia. Data UNICEF tahun 2020 mencatat bahwa 41% anak usia sekolah di Indonesia pernah mengalami perundungan lebih dari sekali dalam sebulan. Perundungan ini ditandai dengan kesengajaan menyakiti, adanya ketimpangan kekuasaan antara pelaku dan korban, serta sifatnya yang berulang. Meski bullying dapat dialami siapa saja, anak-anak dari kelompok rentan seperti anak dengan kanker memiliki risiko lebih tinggi menjadi korban.
Berdasarkan penelitian terbaru menunjukkan bahwa tingkat perundungan pada anak dengan kanker mencapai 32,2% lebih tinggi dibandingkan anak lainnya. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa hak anak, khususnya untuk hidup aman dan nyaman, masih belum sepenuhnya terpenuhi.
Secara umum, perundungan terbagi menjadi 4 bentuk yakni: fisik, verbal, sosial, dan siber. Perundungan fisik adalah aksi yang mengakibatkan cedera fisik seperti memukul dan menendang. Sedangkan perundungan verbal adalah upaya menyakiti dengan kata-kata seperti mengejek, memaki, atau mengancam. Apabila tindakan ditujukan untuk pengucilan dan merusak reputasi seseorang maka disebut perundungan sosial. Terakhir, jika bullying terjadi secara daring disebut cyber-bullying.
Anak-anak dengan kanker sering mengalami perundungan verbal, yang dipicu oleh perubahan fisik akibat perawatan medis seperti kemoterapi. “Kondisi seperti kebotakan atau harus menggunakan kursi roda sering menjadi alasan anak-anak ini diperlakukan tidak menyenangkan oleh teman sebayanya,” ujar Tyas Amalia, Ketua Yayasan Pita Kuning Anak Indonesia.
Tidak hanya perubahan fisik, isolasi sosial juga berperan besar. Anak dengan kanker sering kehilangan kesempatan untuk bermain atau bersekolah secara aktif, sehingga menjadi sasaran empuk perundungan.
Secara garis besar, perundungan memberikan dampak serius pada kesehatan mental, sosial, dan akademik anak dengan kanker. Shaqila Noor, pekerja sosial profesional di Yayasan Pita Kuning, berbagi cerita tentang seorang anak yang menjadi korban perundungan karena perbedaan fisik. “Ia menjadi enggan ke sekolah, suka menyendiri, dan memilih memakai topi untuk menutupi kepala yang botak akibat pengobatan,” ungkap Shaqila.
Selain itu, perundungan dapat memicu kecemasan berlebihan, gangguan tidur, hingga putus sekolah. Hak-hak anak, seperti rasa aman dan akses pendidikan, menjadi terancam akibat fenomena ini.
Sebagai organisasi yang mendampingi anak dengan kanker, Yayasan Pita Kuning terus melakukan advokasi dan edukasi, baik kepada pihak sekolah maupun masyarakat. “Kami mengedukasi sekolah bahwa kanker tidak menular dan alasan anak-anak ini mungkin harus tinggal kelas karena pengobatan. Dengan pemahaman yang lebih baik, stigma negatif berkurang, dan perundungan dapat dihentikan,” jelas Tyas Amalia.
Namun, menciptakan lingkungan aman memerlukan peran aktif dari semua pihak-keluarga, sekolah, pemangku kepentingan, hingga masyarakat. “Bermain, bersekolah, dan merasa aman adalah hak bagi setiap anak. Sudah waktunya kita semua bekerja sama untuk menghentikan perundungan,” tegas Tyas.
Seperti yang sudah diketahui, Yayasan Pita Kuning Anak Indonesia adalah organisasi yang fokus pada pendampingan psikososial bagi anak dengan kanker dari keluarga prasejahtera yang diinisiasi oleh. Sejak berdiri pada 26 April 2007, yayasan ini telah membantu lebih dari 8.000 anak pejuang kanker di Indonesia.
Dengan visi meningkatkan kualitas hidup anak pejuang kanker, Pita Kuning juga aktif memberikan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat, baik secara daring maupun luring. Melalui upaya kolaboratif, diharapkan tidak ada lagi anak yang harus mengalami perundungan, terutama mereka yang tengah berjuang melawan kanker./ JOURNEY OF INDONESIA | iBonk