Cukup jauh menapak jejak, hingga akhirnya diberikan kesempatan menginjak Hargo Dumilah, puncak tertinggi di Gunung Lawu. Gunung yang terletak di antara perbatasan Provinsi Jawa Timur dengan Jawa Tengah itu, termasuk 7 Summit of Java yang kondisinya tersendiri, letaknya berjauhan dengan gunung api lainnya. Jika Gunung Slamet disebut “Triple S” karena letaknya tidak begitu jauh dengan Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing, maka julukan 2M patut dialamatkan ke Gunung Merbabu dan Gunung Merapi yang memiliki kedekatan dalam jarak.
Dapat mendaki gunung bertipe stratovolcano ini, merupakan pengalaman yang sungguh istimewa bagi saya pribadi. Dalam 1 tahun sekali bersama rekan pecinta alam di Bekasi, kami berkomitmen untuk eksplorasi ke gunung yang sebelumnya belum sempat dijamah bersama. Hingga suatu waktu datanglah niatan spontan untuk menyambangi Gunung Lawu, setelah melihat foto apik yang beredar luas di lini masa.
“Semisal jadi ke sana (Lawu) harus lewat kaki dulu yakni Cemoro Sewu, lalu turunnya di kepala atau Candi Cetho,” ucap Andri, teman saya yang menjiwai kepercayaan Islam Kejawen. Jauh sebelum waktu keberangkatan dirinya sudah wanti-wanti. “Mendaki Lawu tidak bisa disamakan seperti kita naik gunung sebelumnya,” tegasnya.
Menurutnya, di Lawu ada beberapa pantangan yang harus ditaati oleh pendaki. Seperti, tidak boleh berangkat dalam jumlah ganjil, yang menurutnya akan berdampak sial apabila melanggar aturan tersebut. “Selain itu, tidak boleh juga pakai baju atau atribut yang berwarna hijau,” timpalnya.
Singkat kata, agenda perjalanan ke Lawu harus tetap berlanjut meskipun tanpa Andri, yang hari itu apes ketinggalan kereta di Stasiun Pasar Senen, Jakarta. Setelah voting, 1 regu yang berisikan 8 orang sepakat untuk terobos Lawu via Cemoro Sewu, yang masuk di wilayah Magetan, Jawa Timur. Secara kolektif terkumpul dana Rp. 600.000 dari saku kami, untuk membayar jasa travel yang berangkat dari Stasiun Solo Jebres, Surakarta, pada Juli kemarin.
Hari itu, tidak banyak rintangan besar selama proses pendakian ke puncak. Hanya saja sedikit meleset dari target yang dicanangkan untuk camping di Sendang Drajat, justru kami harus bermalam di Sumur Jalatundo yang menjadi bagian dari Pos V. Hal itu mesti terjadi, lantaran kondisi fisik tim sudah terkuras habis dengan beratnya medan di Cemoro Sewu.
Bagi saya, apabila ada satu orang yang sudah tidak sanggup lagi melanjutkan, maka lebih baik jangan dipaksakan. Selain itu, haripun mulai gelap dan tidak memungkinkan apabila tetap memaksakan diri untuk menerobos dinginnya malam.
Sang surya terbit perlahan di ufuk timur, disertai desis angin sepoi yang menggoyahkan pucuk edelweiss hingga jatuh mengering di atas tanah. Nampak jelas, gunung ini telah terpapar kemarau berkepanjangan, dan tiada terlihat satupun dedaunan berwarna hijau segar. Tenda yang kami dirikan saat itu, berdiri di balik tebing setinggi 3 meter yang dikerumuni ilalang kering.
Sembari sarapan, kami berbincang kecil untuk selanjutnya berangkat mengisi logistik air di Sendang Drajat. Menurut pedagang setempat, sumber air Sendang Drajat tidak akan kering meskipun diterpa kemarau berkepanjangan, hanya saja debit airnya tidak melimpah.
“Ini kalau musim tertentu biasa dibuat mandi Mas, sama peziarah atau yang bertapa di dalam lubang-lubang itu,” ujar Hadi, jarinya sambil menunjuk ke arah tebing yang sudah dilubangi menjadi goa-goa kecil yang menjadi lokasi pertapaan. Disamping tempat tersebut terdapat satu petilasan yang disakralkan oleh penduduk sekitar.
“Gunung Lawu tentu memiliki sejarah panjang Mas. Dahulu, Prabu Brawijaya V mukso di Hargo Dalem,” tuturnya. Ia menjelaskan bahwa sekitar tahun 1.300-1.400 Saka, Prabu Brawijaya V sempat mengasingkan diri ke lereng Gunung Lawu. “Prabu dikejar oleh anaknya sendiri, Raden Patah, yang kala itu memimpin Kerajaan Demak,” tambahnya.
Pada masa itu sedang gencar-gencarnya Islamisasi di pulau Jawa, yang membuat Raja Majapahit harus melarikan diri ke perbatasan Jawa Tengah, lantaran belum bersedia memeluk agama Islam. Dalam proses pengasingan, Prabu Brawijaya V memprakarsai pembuatan jejak peradaban Hindu – Budha di Jateng, seperti yang tertoreh melalui peninggalannya di Candi Sukuh, Candi Cetho dan Candi Kethek.
Hadi mengisahkan bahwa musuh bebuyutan Brawijaya V, Adipati Cepu, yang dilatari dendam kesumat mengejarnya sampai merangsak naik ke Lawu. “Bulak Peperangan yang menjadi bagian dari jalur Lawu via Candi Cetho pernah menjadi medan pertempuran antara Brawijaya V dengan Adipati Cepu yang membawa pasukan,” jelasnya.
“Bahkan, Brawijaya V sampai-sampai mengutuk keturunan Adipati Cepu maupun orang dari Cepu yang mencoba naik ke Gunung Lawu,” tambahnya. Konon, hingga kini, pendaki dari daerah tersebut tidak berani melanggar sumpah Brawijaya, karena takut celaka.
Dibangun sejarah panjang, pendakian ke Gunung Lawu turut menyuburkan potensi ekonomi warga sekitar. Hal ini terbukti dengan tumbuhnya warung jajanan dihampir setiap pos peristirahatan, yang menjajakan aneka macam dagangan sebagai bekal konsumsi untuk para peziarah, pertapa, maupun pendaki yang tidak membawa bekal logistik.
Seperti Warung Mbok Yem yang disebut-sebut sebagai warung tertinggi di Indonesia. Bersama anaknya, dia merintis pembangunan warung di dekat Hargo Dalem sejak tahun 80-an. Berbekal menu nasi pecel telur ceplok, ia mapan hingga bisa menyekolahkan anaknya sampai menjadi seorang Bupati. Di Lawu, Mbok Yem memiliki gubukan yang sebidang dengan warungnya, dapat menampung manusia hingga kapasitas 30 orang. “Mau tidur di dalam boleh, di luar bikin tenda juga tidak apa-apa. Asal belanja saja di warung saya,” cetusnya.
Dari warung Mbok Yem, untuk menyambangi Puncak Hargo Dumilah sudah tidak begitu jauh. Dibutuhkan waktu interval 30 sampai 60 menit dengan berjalan menanjak hingga mencapai tugu puncak Lawu yang berada di ketinggian 3.265 mdpl. Hargo Dumilah tersohor akan posisinya untuk menyaksikan sang surya terbit maupun sedang terbenam. Tempat tersebut berada di atas samudera awan.
Setelah puas menikmati elok panorama dari puncak Lawu, cukup disayangkan apabila pulang melewati jalur yang sama. Gunung Lawu memiliki 4 jalur yang populer di mulut pendaki, yakni jalur Cemoro Sewu, Cemoro Kandang, Candi Cetho dan Jogorogo.
Tepat pukul 10.00 WIB, setelah berkemas dan sarapan, kami putuskan untuk turun gunung. Saya yang terpencar dengan rombongan di depan, harus melangkah tertegun-tegun saat kabut tipis perlahan demi perlahan menutupi jalan dan mulai mengganggu jarak pandang. Padahal pagi itu cuaca sangat cerah, terik matahari sedang bagus-bagusnya bersinar.
Di lokasi ini kaya akan vegetasi cantigi, beserta gundukan batu yang tersusun amat misterius. Entah siapa yang membentuk polanya sedemikian rupa, hingga struktur yang apik ini mampu mendatangkan makna setelah dipandang.
Tak lama berselang, datanglah kedua teman saya yang tertinggal dibarisan paling belakang. “Ini dia, yang dinamakan Pasar Dieng,” sahutnya sembari mengikat sepatu. Ia menuturkan, bahwa lokasi Pasar Dieng juga dikenal dengan sebutan Pasar Setan. “Jadi, tempat ini adalah pertemuan antara jalur Lawu via Cemoro Kandang dengan jalur via Candi Cetho,” pungkasnya.
Setelah melalui kesenyapan Pasar Dieng, berjalan 10 menit ke bawah, dari kejauhan akan nampak padang sabana yang begitu luas. Namun, tidak banyak pendaki yang berani mendirikan tenda di area terbuka itu, larena angin bertiup cukup kencang. Ditambah lagi dengan kondisi tanah yang sudah lama tidak terkena hujan, bila diinjak mengepul jadi debu tebal dan dapat mengganggu penglihatan.
Berikutnya, masih terdapat sabana yang lebih megah di bawah lokasi tadi. Di area sabana, terdapat kubangan tanah basah yang apabila pada musim penghujan tempat tersebut akan menjadi sumber air bagi makhluk hidup yang menghuni hutan Gunung Lawu. Kubangan besar ini dinamakan Gupakan Menjangan, karena acap kali muncul menjangan (rusa) yang minum di telaga saat pagi maupun sore hari.
Bulak Peperangan kiranya bisa menjadi kejutan yang memikat mata hati. Cukup berjalan 20 menit dari Gupak Menjangan, lagi-lagi pendaki disuguhi padang sabana yang memanjang dengan vegetasi cemara yang tumbuh pada lereng kedua bukit. Bulak Peperangan, dapat menjadi lokasi camping. Namun, yang harus dipersiapkan adalah bekal stok air minum harus lebih dari cukup. Sepanjang Jalur Cetho hanya terdapat satu sumber air, yang terdapat di dekat Pos III dan biasa dijadikan area camping oleh para pendaki.
Jalur Cetho menawarkan bentang alam yang menakjubkan. Namun dari segi jarak, jalur tersebut merupakan lintasan yang terpanjang bila disanding dengan track lainnya. Panjang lintasan Cetho lebih kurang 17 km, terhitung dari pintu masuk kompleks candi Cetho hingga puncak Hargo Dalem. Diestimasi membutuhkan waktu setidaknya lebih dari 10 jam, untuk berjalan mencapai puncak Hargo Dumilah.
Dalam 3 bulan terakhir Gunung Lawu diterpa 4 kali kebakaran. Periode Agustus kemarin menjadi yang terhebat. Setidaknya, si jago merah sempat melalap 70 hektare padang sabana di jalur Cetho. Meskipun belum diketahui penyebab utama, ditengarai, kebakaran dipicu karena ulah manusia yang membuat api unggun saat camping hingga api menjalar luas ke atas pos V.
Untungnya dampak dari peristiwa ini tidak sampai menelan korban jiwa. Namun, sebagian area sabana Cetho kini menghitam, dan dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memulihkan keasrian vegetasi seperti kondisi semula./ JOURNEY OF INDONESIA