JAKARTA – Diskusi Kebudayaan dengan tema Peran Budayawan dalam Situasi Politik Masa Kini dan Masa Depan: Melihat Kembali Jejak Chairil Anwar, Rendra, Hardi dan Kita digelar di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta, Rabu (10/1/2024)
Moderator acara, Amien Kamil, membuka diskusi dengan menyoroti pentingnya peran seniman dan budayawan dalam merespons perkembangan sosial politik, serta mencerahkan masyarakat mengenai etika, moral, dan politik yang beradab.
Diskusi tersebut menghadirkan tokoh-tokoh kunci seperti Bre Redana (Kritikus Seni & Sastrawan), Arahmaiani (Perupa), dan Taufik Rahzen (Budayawan).
Wajah-wajah terkenalpun seperti Butet Kartaradjasa, Jose Rizal Manua, Isti Nugroho, dan Miing Deddy Gumelar juga turut hadir dalam acara yang mempertegas urgensi budayawan dalam menghadapi tantangan politik saat ini.
Amien Kamil mengungkapkan keprihatinannya terhadap situasi masyarakat yang terlena oleh dinamika politik, khususnya selama Pemilu dan Pilpres. Ia menyatakan bahwa peradaban dapat terancam jika kepentingan praktis sesaat, golongan, dan partai menjadi fokus utama. Amien menekankan peran budayawan dalam memberikan pencerahan kepada masyarakat agar memikirkan peradaban yang hendak dibangun, mempertahankan kebenaran, dan tidak terombang-ambing oleh perebutan kekuasaan semata.
Budayawan Taufik Rahzen menjelaskan bahwa dari masa ke masa, selalu ada pola-pola yang muncul untuk menyeimbangkan kekuasaan. Ia merinci bahwa di kalangan seniman, terdapat tokoh-tokoh seperti Chairil Anwar, WS Rendra, Hardi, Japi Tambayong, Radhar Pancadahana, dan lainnya. Menurut pakar sastra Jawa, Prof. Dr. Petrus Josephus Zoetmulder, mereka disebut sebagai Kalangwan, yang ditandai oleh otonomi moralitas tanpa bergantung pada agama atau kekuasaan.
Taufik Rahzen mencontohkan melalui puisi-puisi Chairil Anwar dan karya Pramudya Anantatoer, di mana konsep diri mereka sangat otonom. Bagi Kalangwan, keindahan adalah bagian dari tempat mereka berada, dan meskipun berbeda-beda, kebenaran selalu satu. “Dari dulu, masyarakat Nusantara selalu bertegangan antara kekuasaan dan agamawan. Para budayawan dan seniman selalu mengambil jalan keindahan tanpa terlalu mempedulikan kekuasaan,” kata Taufik.
Bre Redana, seorang wartawan senior, menyoroti pengaruh perguruan silat Perguruan Bangau Putih terhadap WS Rendra dan Hardi. Ia menyebut Hardi sebagai seorang pelukis yang kritis sekaligus kompromistis, mampu mengkritik pemerintah namun juga menjual karyanya kepada pihak yang dikritik. Sementara itu, WS Rendra banyak memasukkan pengaruh filsafat Taoisme dari perguruan Bangau Putih dalam karyanya, seperti dalam drama “Mas Willlly Kisah Perjuangan Suku Naga.”
Arahmaiani, seorang perupa, mengungkapkan bahwa WS Rendra sangat mempengaruhi sikap dan pola pikirnya. Setelah dipenjara dan dikeluarkan dari ITB tahun 1983, Arahmaiani bertemu dengan WS Rendra. “Dia memberi saya dua buku, salah satunya Kitab Pararaton. Saya tertarik pada budaya dan tradisi. Apalagi pada masa Diktator Soeharto, saya melihat tradisi budaya Jawa dipelintir oleh penguasa,” ujar Arahmaiani.
Terakhir, Arahmaiani menyoroti tantangan yang dihadapi oleh seniman seperti dirinya, terutama terkait isu-isu kontroversial. Ia menekankan bahwa saat ini, hanya isu lingkungan yang mampu mempersatukan berbagai kelompok, sementara isu-isu lain masih sulit untuk didiskusikan. Diskusi tersebut menjadi momentum refleksi bersama tentang bagaimana budayawan dan seniman dapat menjaga keindahan, otonomi moralitas, dan kebenaran di tengah arus politik yang kompleks./ JOURNEY OF INDONESIA