JAKARTA – Sebuah nama yang sudah mendedikasikan lebih dari dua dekade hidupnya di kancah musik Indonesia, Float, kembali menyapa penggemar dan penikmat musik Tanah Air. Band yang dikenal dengan karya-karya puitis dan mendalam ini meluncurkan single teranyar mereka berjudul ‘Dimabuk Cahaya’.
Lagu ini hadir sebagai penanda 21 tahun perjalanan Float dalam ekosistem musik, namun ia bukan sekadar perayaan. Ini adalah sebuah deklarasi, sebuah perlawanan halus terhadap tuntutan industri yang bergerak terlalu cepat, serta penegasan bahwa eksistensi mereka terus berlanjut.
Hotma “Meng” Roni Simamora (vokal/gitar), salah satu pilar Float, menegaskan bahwa kehadiran ‘Dimabuk Cahaya’ bukanlah sebuah gebrakan mendadak atau upaya comeback. Ia bersama formasi terbarunya, yang kini diperkuat oleh Timur Segara (drum), David Qlintang (gitar), dan Binsar Tobing (bass), menganggap lagu ini sebagai lanjutan dari filosofi yang telah mereka anut sejak awal karya yang jujur, organik, dan kaya rasa.
“Ini bukan comeback,” kata Meng. “Kami cuma meneruskan nafas yang sama, tapi mungkin warnanya beda, lebih segar,” lanjutnya memberikan petunjuk akan tone yang berbeda namun tetap mempertahankan esensi Float.
Bagi band yang mengidentikkan diri mereka dengan konsep ‘mengapung’, posisi stabil di tengah, tidak tenggelam namun juga tidak terlalu tinggi, filosofi ini menjadi jangkar di tengah tuntutan dunia musik untuk selalu menjadi viral.
Sementara Binsar Tobing menjelaskan esensi sikap mereka. “Kami tidak perlu ikut ribut agar terlihat relevan. Yang penting jujur dengan karya kami sendiri,” ucap Binsar, menyoroti penolakan band ini untuk tunduk pada tekanan algoritma media sosial.
‘Dimabuk Cahaya’ secara tegas dihadirkan sebagai bentuk penolakan terhadap kepalsuan yang dipicu oleh kecepatan tren. Lagu ini mengajak pendengar untuk benar-benar berhenti dan menikmati musik.

Secara musikalitas, single ini membawa nuansa hangat dan berkarakter dengan warna vintage ala 70-an yang kental dan organik. Meng mengungkapkan inspirasi tak terduga di balik aransemen ini, yakni lagu tema James Bond yang berjudul ‘You Only Live Twice’. Gabungan antara sound retro dan penceritaan yang kuat menghasilkan sebuah karya yang menenangkan namun menggugah.
Di sisi lirik, ‘Dimabuk Cahaya’ tidak mengangkat tentang keindahan biasa, melainkan tentang kejujuran dan kesadaran yang terkadang menyakitkan. Float menginterpretasikan ‘cahaya’ bukan sebagai hal yang lembut, melainkan yang “menelanjangi” hal-hal tersembunyi. Cahaya, bagi mereka, adalah simbol akan pengetahuan dan iman, sesuatu yang meski menyakitkan dalam prosesnya, pada akhirnya justru membebaskan.
David Qlintang, sang gitaris, menambahkan sentuhan personal dari proses kreatif ini, “Yang terpenting, lewat lagu ini kami merasa lebih hidup!” Dengan segala kejujuran dan idealismenya, lagu ini sangat ideal diputar dalam momen kontemplatif, seperti saat menikmati perjalanan malam atau mencari ketenangan di tengah hiruk-pikuk.
Float memastikan bahwa cahaya yang menuntun mereka sejak awal masih menyala, dan kini mereka berharap para pendengar pun dapat merasakan pijar yang sama. Ini adalah cara Float untuk memastikan relevansi abadi mereka, bukan melalui tren, melainkan melalui karya otentik yang bertahan lama./ JOURNEY OF INDONESIA | Norman Sadik

















