Sayup-sayup dari kejauhan terdengar tabuhan gending gamelan Jawa, dari yang semula lamat-lamat akhirnya semakin jelas. Terlihat serombongan orang dengan menggendong dan memainkan musik tradisional mengikuti iring iringan 3 ekor kuda yang dipenuhi pernak pernik yang cantik berjalan perlahan di tepi Danau Klakah, Lumajang, Jawa Timur, Senin, 9 April 2018.
Seorang laki-laki berkostum kuda lumping yang diyakini adalah pawangnya tampak memecutkan cambuk ke udara sambil memberikan perintah kepada seekor kuda yang menari-nari memimpin di depan untuk menuruti apa yang diperintahkan.
Tiga ekor kuda Bima berjenis kelamin betina ini masing-masing di sematkan zirah yang meriah, penuh pernak-pernik dengan warna mencolok. Kuda paling depan meliuk-liukkan badan, mengikuti irama gending. Intonasi kian meninggi kalau kuda bergerak makin atraktif.
Sang kuda, misalnya, akan mengangkat kedua kaki bila di pecut tapalnya, kemudian akan duduk terpekur bila pawang menyentuh leher si kuda. Yang paling hebat jika jika kedua lutut kuda tersebut di tepuk kuat, kuda tersebut akan tidur dalam posisi telentang dijalanan.
“Ini namanya pertunjukan “Jaran Kencak,” ungkap Abdullah Al-Kudus, budayawan yang ikut menyaksikan pertunjukan tersebut. Jaran Kencak sendiri sebenarnya tak jauh berbeda dengan Jaran Jenggo di Pantura dan Kuda Renggong di tanag Sunda.
Jaran Kencak ditampilkan hampir satu jam di kawasan danau ini. “Normalnya 8 jam, dari jam 2 siang sampai jam 10 malam,” ujar Abdullah. Dia berkisah, Jaran Kencak adalah produk budaya masyarakat asli Lumajang, yang biasa ditampilkan untuk hajatan.
Konon, tarian ini muncul sebagai bentuk kekaguman masyarakat terhadap Rangga Lawe. Ia adalah ksatria yang tak bisa lepas dari imej kuda bernama Nila Ambara. Kuda Nila dan Rangga Lawe seperti kesatuan yang utuh. Adapun masyarakat lokal percaya, pencipta tarian jaran kencak ialah Kelabi Sajeh.
“Dia petapa yang konon hidup di Gunung Lemongan. Lalu diserang kuda liar. Tapi kekuatannya mampu menaklukkan kuda-kuda itu,” ujar Abdullah. Masyarakat lokal hanya meyakini bahwa tari Jaran Kencak bermula dari seorang petapa bernama Kelabi Sajeh. Kelabi terinspirasi oleh kisah yang dialaminya sendiri saat berperang menundukkan kuda. Juga mengadopsi babat Rangga Lawe yang lekat akan kisah persahabatan manusia dan kuda.
Jaran Kencak sendiri bukanlah pertunjukan hiburan biasa. Atraksi ini bagi masyarakat setempat menyiratkan simbol status. Dihadirkan pada acara-acara hajatan, menunjukkan kemampuan si empunya hajat. Semakin banyak kuda yang dilibatkan, artinya makin kaya orang tersebut.
Formasi tarinya sendiri tidak berubah, meski kuda mengalami penambahan jumlah. Kuda atraksi tetap paling depan yang diikuti kuda lainnya yang disebut Temanten. Nah, kuda temanten ini bisa bertambah jumlah. Biaya per ekor kuda yang ditampilkan dalam pertunjukan di banderol rata-rata Rp. 1 juta.
Kuda-kuda temanten inilah nantinya akan mengangkut si pemilik hajat, berikut keluarganya. Adapun kuda atraksi, yang sudah dilatih khusus oleh pawang, tak bakal ditunggangi manusia. Ia akan bergerak lincah menari-nari sepanjang pertunjukan.
Untuk melatih kuda Bima ini hingga terampil dan dapat mempertontonkan kepiawaiannya dibutuhkan waktu kira-kira 3 tahun. Ini sebuah pelatihan yang tidak gampang, dan si pawang akan merasa rugi jika dalam masa pelatihan kuda tersebut cedera ataupun mati.
Atraksi Jaran Kencak tak cuma ada di acara-acara khusus. Tiap November-Desember, Lumajang menggelar Festival Jaran Kencak. Lokasinya di Alun-Alun Kota Lumajang. Pengunjung yang hadir dari berbagai daerah bakal bisa menyaksikan kesenian tersebut dengan leluasa./ JOURNEY OF INDONESIA