JAKARTA — Film Samsara karya sutradara visioner c mencetak prestasi gemilang di kancah internasional. Karya ini meraih tiga nominasi pada ajang Asia Pacific Screen Awards (APSA) ke-18 yang akan digelar pada 27 November mendatang di Gold Coast, Australia. Dengan torehan itu, Samsara menjadi film dengan nominasi terbanyak tahun ini, menegaskan posisi Garin sebagai salah satu sineas paling konsisten dalam membawa identitas budaya Indonesia ke panggung dunia.
Disutradarai oleh Garin Nugroho dan diproduksi oleh Cineria Films bersama Esplanade – Theatres on The Bay, Lynx Films, United Communications, serta Silur Barong, Samsara adalah film bisu yang berlatar sejarah dan budaya Bali pada dekade 1930-an. Film ini dibintangi oleh Aryo Bayu, Juliet Widyasari Burnett, dan Gus Bang Sada, dengan sinematografi yang ditangani oleh Batara Goempar, yang juga mendapat nominasi untuk kategori Penata Kamera Terbaik.
Dalam daftar nominasi, Samsara bersaing di tiga kategori utama: Film Terbaik, Sutradara Terbaik untuk Garin Nugroho, dan Penata Kamera Terbaik untuk Batara Goempar. Kemenangan di salah satu kategori akan memperkuat posisi Indonesia dalam peta perfilman Asia-Pasifik yang selama ini didominasi oleh negara seperti Jepang, Iran, dan Filipina.
“Samsara sudah melalui perjalanan panjang ke berbagai festival dan tempat pemutaran. Mendapat nominasi di Asia Pacific Screen Awards adalah pencapaian tersendiri yang kami syukuri,” ujar produser Gita Fara. Ia juga menambahkan, apresiasi ini menjadi bukti bahwa karya sinema dengan akar budaya lokal tetap bisa berbicara dalam bahasa universal dan diapresiasi secara global.
APSA sendiri dikenal sebagai “Oscar-nya Asia-Pasifik”. Didirikan pada tahun 2007 oleh Pemerintah Negara Bagian Queensland, Australia, penghargaan ini diberikan untuk mengapresiasi keunggulan artistik dan keberagaman budaya dalam sinema kawasan Asia-Pasifik. Tahun ini, tercatat 33 film dari 24 negara berpartisipasi, termasuk It Was Just an Accident karya Jafar Panahi (Iran), Magellan karya Lav Diaz (Filipina), The Sun Rises on Us All karya Cai Shangjun (Tiongkok), serta Two Seasons, Two Strangers karya Sho Miyake (Jepang).

Selain pencapaian di ajang penghargaan, Samsara menonjol lewat kekuatan estetik dan spiritualnya. Film ini berkisah tentang seorang pria miskin di Bali yang ditolak lamarannya oleh keluarga kaya perempuan pujaannya. Dalam keputusasaan, ia membuat perjanjian gaib dengan Raja Monyet demi memperoleh kekayaan, namun ritual itu justru membawa kutukan bagi istri dan anaknya.
Garin menyajikan kisah tragis ini dalam bentuk sinema bisu yang memadukan visual puitik, musik gamelan kontemporer, serta koreografi tradisional Bali. Proses kreatifnya melibatkan nama-nama besar seperti koreografer Ida Ayu Wayan Arya Satyani, Maestro Tari I Ketut Arini, Cok Sawitri, Aryani Willems, serta kolaborasi musik dengan Wayan Sudirana, Gamelan Yuganada, dan Kasimyn dari Gabber Modus Operandi.
Sebagai film yang menelusuri makna karma dan siklus kehidupan, Samsara bukan hanya menampilkan keindahan visual, tetapi juga menggugah refleksi spiritual penontonnya. Gaya penceritaan Garin yang eksperimental menjadikan film ini sebuah karya lintas disiplin antara sinema, tari, musik, dan teater tradisi.
Penonton di Indonesia dapat menyaksikan Samsara di bioskop mulai 20 November 2025. Film ini diharapkan tak hanya menjadi kebanggaan perfilman nasional, tetapi juga membuka ruang dialog baru antara tradisi dan modernitas dalam seni sinema Indonesia./ JOURNEY OF INDONESIA | Ismed Nompo