JAKARTA – Musisi dan komposer progresif Fadhil Indra akhirnya merilis album solo berjudul “Bermusik Untuk Bangsa, sebuah karya yang ingin mengobarkan semangat nasionalisme melalui nada, lirik, dan suara. Bukan sekadar album, karya ini hadir sebagai ajakan terbuka untuk melihat Indonesia dan menjadikannya inspirasi, identitas, serta energi kreatif bersama.
Rencana untuk meluncurkan album solo sebenarnya telah muncul sejak 2004, namun baru mencapai kenyataan setelah pandemi Covid-19 memberi ruang bagi Fadhil untuk mereset, menciptakan kembali dari nol bersama gitaris Benny Kurniawan (Montecristo). Mereka mulai merancang “Bermusik Untuk Bangsa” di masa pandemi dan menuntaskannya pada awal 2025.
“Gue pengen banget Indonesia bisa jadi inspirasi dunia. Lihat ke sini deh, lihat Indonesia. Lu bikin lagu, bunyi, gambar, semuanya bisa jadi inspirasi,” ujarnya.
Dalam waktu enam bulan saja, proyek yang awalnya direncanakan sebagai mini-album berkembang menjadi album penuh. Tergerak oleh momentum ajang AMI Awards 2025 dan semangat peringatan Hari Sumpah Pemuda, pengerjaan album ini dipercepat, seluruh biaya dipikul mandiri tanpa melibatkan label besar.
Album ini menyajikan sembilan lagu yang terbagi dalam dua babak besar: Propaganda dan Bermusik Untuk Bangsa. Di antaranya lagu ‘Kita’ dan ‘Big Bangsaku’ yang memancarkan optimisme dan cinta tanah air; ‘GriP Loh Jinawi’ yang menghadirkan keindahan alam Nusantara melalui instrumental; serta ‘Meet The GIANT’, sebuah manifestasi kebanggaan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar.

Sebagai penyanyi sekaligus pemain kibord dan piano, di album ini Fadhil mengajak kita merenungkan ulang arti bermusik bukan hanya untuk diri sendiri, namun untuk bangsa. Proyek ini menjadi simbol bahwa musik progresif Indonesia sanggup berbicara lantang tentang jati diri, sejarah, dan semangat kebangsaan.
Peluncuran album bertepatan dengan momentum Hari Sumpah Pemuda, dan digelar secara live pada 28 Oktober 2025 di Museum Stovia, Jakarta — tempat yang sarat makna sebagai bagian dari sejarah persatuan bangsa.
Selain aspek musikal, “Bermusik Untuk Bangsa” juga dibarengi dengan inisiatif sosial: kolaborasi lintas musisi dan daerah untuk menciptakan karya bersama yang merepresentasikan semangat Indonesia. “Kalau ngerjain sesuatu untuk bangsa, itu harus ramai-ramai, gak bisa sendiri-sendiri,” tegas Fadhil.
Salah satu lagu unggulan, “Warnerin” (singkatan dari Warga Negara Republik Indonesia), mengambil teks asli dari Sumpah Pemuda yang diberi melodi baru. “Liriknya gue ambil kata per kata. Lagu ini jadi simbol bahwa musik bisa menghidupkan lagi semangat persatuan,” katanya.
Inspirasi nasionalisme yang kuat berasal dari pengalaman Fadhil saat tur ke luar negeri bersama bandnya, di mana ia menyaksikan bentuk-bentuk meremehkan terhadap Indonesia. “Waktu itu di AS, gue lihat sendiri orang ngejek presiden kita. Dari situ gue mikir, kenapa sih kita sering diremehkan? Padahal negara ini keren banget,” tuturnya.
Sejak momen itu, ia menggali sejarah dan budaya nusantara dari Sumpah Pemuda hingga kisah kecil yang terlupakan dengan keyakinan bahwa musik bisa menjadi medium penceritaan ke dunia. Uniknya, album ini dirilis terlebih dahulu dalam format fisik CD yang diproduksi mandiri, bukan hanya digital. Fadhil beralasan bahwa royalti digital masih belum jelas mekanismenya. “Kalau beli CD gue, royalti langsung ke gue. Selesai,” katanya lugas.
Dalam liner note albumnya ia menuliskan: “Tidak dilarang membawakan lagu-lagu dalam album ini.” Filosofi sederhana yang menyentuh: musik ini untuk bangsa, bukan untuk dimonopoli. Kolaborasi dengan label Jepang Disk Union Record membuka promosi lintas negara, dan album ini diawali dengan perilisan video lyric teaser lewat platform mereka.

Lebih dari sekadar karya seni, “Bermusik Untuk Bangsa” adalah sebuah ajakan untuk memikirkan ulang cita-cita kebangsaan. “Gue belum pernah dengar Indonesia punya cita-cita besar,” Fadhil mengatakan serius. “Amerika dikenal sebagai superpower. Gue pengen Indonesia dikenal sebagai archipelago power, bangsa kepulauan yang punya kekuatan besar.”
Ia juga mendorong kolaborasi nasional lintas daerah: “Musisi Aceh bisa nulis soal kuliner, Manado tentang laut, Ambon tentang musiknya. Kalau mereka gak bisa bikin melodinya, sini kita bantu. Yang penting gotong royong.”
Keterlibatan generasi muda juga menjadi bagian dari proyek ini. Fadhil menggandeng sejumlah kolaborator muda seperti Nonny (Cindy Manuputty) dan Leahi untuk memperkaya warna vokal serta perspektif dalam album ini.
Dengan ambisi yang lebih besar dari sekedar menghasilkan album, Fadhil berharap karya ini bisa menjadi agenda tahunan nasional. Misalnya, tiap Hari Musik Nasional (9 Maret) diadakan pengumpulan lagu bertema Indonesia dari seluruh nusantara. “Kalau bola saljunya sudah jalan, hasilnya bisa kita bawa ke siapa pun, seperti ke menteri, ke presiden. Lihat, musik ini berkembang, kenapa gak dijadikan gerakan nasional?” ujarnya optimistis.
Sebagai musisi, komposer, dan produser yang idealis, Fadhil Indra menempatkan dirinya bukan sekadar sebagai penghibur, melainkan sebagai penggerak kebangkitan musikal Indonesia. Pria kelahiran Jakarta ini memulai karier sejak era 1980-an, melalui band-band seperti Discus dan Montecristo, yang menembus pasar internasional dan meraih penghargaan-penghargaan penting.
Lebih dari tiga dekade berkarya, ia tetap berpegang pada satu keyakinan: musik harus punya makna dan arah. Ia percaya bahwa bangsa sebesar Indonesia layak memiliki cita-cita musikal yang sama besarnya bukan hanya sebagai penonton dalam dunia musik global, tetapi sebagai “archipelago power”, kekuatan kepulauan yang bersuara untuk dunia.
Dengan album ini, Fadhil Indra ingin menyalakan api harapan: agar Indonesia kembali memiliki lagu-lagu yang mencerminkan jati dirinya, dengan semangat gotong-royong yang tak lekang oleh zaman./ JOURNEY OF INDONESIA | iBonk


















