JAKARTA — Setiap 14 November, dunia memperingati Hari Diabetes Sedunia. Namun bagi Indonesia, peringatan tahun ini terasa lebih genting. Dua ancaman besar kini saling bertaut yakni obesitas dan diabetes. Keduanya bukan lagi sekadar isu kesehatan pribadi, tetapi persoalan nasional yang menggerogoti fondasi produktivitas dan ekonomi bangsa.
Menurut IDF Diabetes Atlas edisi ke-11 tahun 2024, tak kurang dari 20,4 juta warga Indonesia hidup dengan diabetes. Jumlah itu diperkirakan melonjak menjadi 28,6 juta orang pada 2050, menjadikan Indonesia berada di peringkat kelima dunia dengan jumlah penderita terbanyak. Di sisi lain, Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat kenaikan prevalensi obesitas dari 21,8 persen pada 2018 menjadi 23,4 persen pada 2023. Bahkan, obesitas sentral penumpukan lemak di perut menyentuh angka 36,8 persen pada kelompok usia di atas 15 tahun.
Situasi ini menandakan sesuatu yang lebih dalam cara hidup masyarakat Indonesia telah berubah. Urbanisasi, pola makan tinggi kalori, kurangnya aktivitas fisik, dan kebiasaan begadang membentuk lingkaran baru risiko kesehatan. Penelitian Institut Pertanian Bogor bahkan memperkirakan kerugian ekonomi akibat obesitas mencapai lebih dari Rp 78 triliun per tahun. Angka itu mencerminkan bahwa obesitas bukan lagi masalah individu, melainkan krisis yang bersifat sistemik.
Obesitas bukan sekadar perkara berat badan. Ia merupakan kondisi medis kronis yang memicu serangkaian gangguan serius seperti diabetes tipe 2, penyakit jantung, hipertensi, sleep apnea, hingga kanker. Lemak viseral di dalam tubuh berperan besar dalam memicu resistensi insulin dan peradangan kronis yang mempercepat datangnya penyakit.

Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Obesitas sebagai panduan komprehensif untuk tenaga medis dan masyarakat. Pedoman itu menekankan penanganan bertahap, dimulai dari perubahan gaya hidup dan pola makan seimbang, aktivitas fisik teratur, dan tidur cukup serta, bila diperlukan, terapi medis berbasis bukti di bawah pengawasan dokter.
“Sekitar satu dari empat orang dewasa di Indonesia mengalami obesitas, dan lebih dari satu dari tiga mengalami obesitas sentral. Ini bukan sekadar statistik, tapi peringatan keras,” ujar dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan.
Dirinya juga melanjutkan bahwa jika tidak bertindak sekarang, beban penyakit kronis akan terus meningkat. Diperlukan aksi bersama lintas sektor, mulai dari edukasi publik hingga kebijakan yang mendorong pola hidup sehat.
Banyak individu dengan obesitas memilih berjuang sendiri, terjebak dalam stigma sosial yang menilai obesitas sebagai kelemahan pribadi. Padahal, seperti dijelaskan dr. Dicky L. Tahapary, Sp.PD, K-EMD, Ph.D, Bendahara Perhimpunan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) sekaligus anggota Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI), “Obesitas dan diabetes adalah dua sisi dari koin yang sama. Penurunan berat badan lima hingga sepuluh persen saja sudah terbukti memperbaiki kadar gula darah, tekanan darah, dan profil lipid. Bahkan penurunan lebih dari sepuluh hingga lima belas persen dapat mendorong remisi diabetes tipe 2.
Ia menekankan pentingnya pendampingan medis. “Jika diet dan olahraga belum cukup, itu bukan kegagalan. Itu tanda bahwa sudah waktunya berkonsultasi dengan dokter. Pendekatan bertahap tetap menjadi kunci dimulai dari perubahan perilaku, lalu diikuti terapi medis sesuai panduan PNPK Obesitas,” ujar dr. Dicky.

Menjawab kebutuhan itu, Novo Nordisk Indonesia memperluas komitmennya dalam penanggulangan obesitas dan diabetes melalui inovasi berbasis sains dan kolaborasi lintas sektor. Salah satunya lewat platform digital NovoCare.id, yang membantu masyarakat mendapatkan akses edukasi serta dukungan medis tepercaya.
Menurut dr. Riyanny M. Tarliman, Clinical, Medical & Regulatory Director Novo Nordisk Indonesia, cara pandang terhadap obesitas perlu diubah secara mendasar. “Kelebihan berat badan atau obesitas bukan kesalahan individu. Ini kondisi medis kompleks yang membutuhkan dukungan nyata. Melalui NovoCare.id, kami membantu masyarakat menemukan dokter dan informasi terpercaya agar mereka dapat mengelola kondisi ini dengan tepat,” ujarnya.
Terobosan medis seperti terapi GLP-1 receptor agonist menjadi contoh bagaimana inovasi ilmiah dapat membantu mengatasi obesitas secara efektif. Berbagai penelitian menunjukkan terapi ini mampu menurunkan berat badan secara bermakna, memperbaiki kadar gula darah, dan menekan risiko penyakit kardiovaskular. Dalam banyak kasus, pasien bahkan melaporkan peningkatan kualitas hidup dan kemampuan fungsional.
Menghadapi krisis obesitas dan diabetes berarti menata ulang paradigma kesehatan masyarakat. Upaya ini tidak hanya soal menurunkan berat badan atau kadar gula darah, tetapi juga mengembalikan harapan, memperpanjang usia produktif, dan mengurangi beban ekonomi nasional.
Dengan kolaborasi pemerintah, tenaga medis, industri farmasi, dan masyarakat, Indonesia memiliki peluang nyata untuk membalikkan tren ini. Jika langkah-langkah preventif, edukatif, dan medis dilakukan secara berkesinambungan, maka gelombang krisis ganda ini bisa diubah menjadi momentum menuju Indonesia yang lebih sehat dan tangguh./ JOURNEY OF INDONESIA | iBonk

















