JAKARTA — Ketika nyeri otot, tegang atau kondisi cedera tampak tak juga membaik meskipun sudah menjalani fisioterapi atau stretching, banyak orang menganggap “ototnya kurang kuat”. Namun, menurut para ahli, akar masalah tak jarang terletak pada sistem saraf yang luput diperhatikan selama proses pemulihan. Insight ini menjadi pusat diskusi dalam acara DRI CONNECT: Media & Community Day yang digelar oleh DRI Clinic di Bintaro, Rabu (16/10/2025).
Dalam acara tersebut hadir pembicara seperti dr. Irca Ahyar, Sp.N., DFIDN (Direktur DRI Clinic) dan Prof. Dr. Nofi Marlina Siregar, M.Pd. (Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Kesehatan Universitas Negeri Jakarta/ UNJ). “Pasien sering datang dengan keluhan yang sama, padahal sudah fisioterapi, stretching, atau bahkan istirahat cukup. Tapi nyerinya muncul lagi. Itu tandanya ada sinyal dari sistem saraf yang tidak seimbang. Ototnya tidak salah, tapi sarafnya yang belum pulih,” jelas dr. Irca.
Ia menekankan bahwa otot bisa saja secara struktur baik-baik saja, tetapi ketika “kabel” yang menghubungkan otak dan otot (yakni saraf) terganggu, maka pesan ke otot tidak sampai sempurna, sehingga menimbulkan tegang, lemah atau nyeri. “Tubuh itu pintar. Kalau ada nyeri yang muncul berulang di tempat yang sama, atau sensasi kebas yang makin sering, itu alarm dari sistem saraf. Jangan tunggu sampai cedera parah baru diperiksa,” tambahnya.
DRI Clinic menegaskan bahwa terapi pemulihan sejati bukan sekadar menangani otot. “Kalau penanganan hanya fokus pada otot tanpa menelusuri jalur sarafnya, hasilnya seperti menambal ban tanpa mencari paku penyebabnya cepat bocor lagi,” ujar dr. Irca.

Sebagai bagian dari strategi, klinik tersebut melakukan penilaian menyeluruh: bagaimana otak, saraf dan otot berkomunikasi satu sama lain. “Kami menilai bagaimana otak, saraf, dan otot berinteraksi. Kalau salah satu tidak seimbang, hasil pemulihan tidak akan optimal,” terang dr. Irca.
Ia juga menekankan pentingnya edukasi pasien agar memahami proses yang dialami tubuh karena ketika pasien tahu kenapa nyerinya, mereka menjadi lebih aktif dalam pemulihan dan mencegah cedera ulang. Pemulihan bukan hanya soal “hilang rasa sakit”, melainkan regenerasi yang tepat. DRI Clinic menggunakan alat diagnostik modern untuk mengukur konduksi saraf, kekuatan otot, dan keseimbangan tubuh sebelum dan sesudah terapi. “Kami ingin semua prosesnya terukur. Pasien bisa lihat sendiri perbedaannya, bukan sekadar merasa lebih baik,” tutur dr. Irca.
Ia membedakan dua jenis nyeri yakni; nyeri otot yang biasanya muncul setelah aktivitas fisik dan terasa pegal atau tegang dengan nyeri yang bersumber dari saraf, yang bisa menusuk, menjalar atau muncul tanpa sebab jelas. “Kalau nyerinya menusuk, menjalar, atau muncul tanpa sebab jelas, besar kemungkinan sumbernya ada di saraf,” tambahnya.
Cedera bukan hanya masalah atlet para pekerja kantoran, guru, ibu rumah tangga saja, siapapun yang sering duduk lama atau berulang kali menggunakan satu posisi tubuhbisa mengalami gangguan saraf. “Duduk delapan jam di depan laptop tanpa jeda bisa memengaruhi keseimbangan postur dan membuat saraf tertekan. Lama-lama muncul nyeri punggung, bahu, atau kesemutan di tangan,” ungkap dr. Irca.
Ia menyarankan agar pemeriksaan saraf dilakukan secara berkala sebagai bagian dari pencegahan. “Pemeriksaan saraf bukan hanya untuk orang yang sakit. Ini bagian dari pencegahan. Kita bisa tahu sejak dini apakah ada ketidakseimbangan yang bisa memicu cedera,” tambahnya.
Menariknya, pemeriksaan semacam ini sering mengungkap bahwa lokasi nyeri bukanlah sumber utama. “Kadang pasien bilang lututnya sakit, tapi setelah kami periksa, ternyata masalahnya di saraf pinggul,” jelas dr. Irca.
Banyak pasien ingin segera kembali beraktivitas begitu rasa sakit mulai mereda. Namun, “regenerasi saraf berjalan jauh lebih lambat dibandingkan otot,” tegas dr. Irca. “Kalau dipaksakan terlalu cepat, cedera bisa kambuh. Pemulihan itu bukan sprint, tapi maraton. Yang penting bukan cepat sembuh, tapi pulih dengan benar.”
Pandangan ini diperkuat oleh Prof. Nofi Marlina Siregar, yang menjelaskan bahwa tubuh butuh latihan yang konsisten dan bertahap: “Kalau kita tidak melatih tubuh secara konsisten, risiko cedera meningkat. Tubuh itu seperti karet, dimana kalau jarang digunakan, bisa putus ketika ditarik.” Menurutnya, kebugaran bukan hanya soal otot kuat, tetapi sinergi antara saraf dan otot. Sekali sinergi ini tidak siap, risiko cedera meningkat.

Acara DRI CONNECT juga menghadirkan perspektif dari praktisi kebugaran seperti Stenly Kusnin (Strategic Advisor Anytime Fitness) yang menegaskan bahwa pelatih dan tenaga medis harus bekerja sama agar klien yang pernah cedera dilatih secara aman. “Kalau ada klien yang pernah cedera, kami akan bertanya mengenai permasalahan sebelumnya, hingga meminta surat rekomendasi dari dokter. Dengan begitu, kami bisa meminimalkan risiko cedera dan memantau progres latihannya. Kalau saat recovery setelah olahraga ada rasa sakit yang tidak hilang, kita harus curiga ada sesuatu yang salah,” ujarnya.
Dari komunitas, Susilo Baskoro (komunitas Bintaro Loop) berbagi bahwa banyak pesepeda mengabaikan sinyal kecil seperti posisi tangan mulai sakit atau leher kaku, padahal bisa jadi itu sinyal sistem saraf yang belum seimbang.
Sementara itu, Rima Melati Adams, sport enthusiast dan Founder @satutempatstudio, menegaskan bahwa olahraga adalah perjalanan panjang: “Olahraga itu bukan untuk short time, tapi untuk long run. Kita harus pahami tujuan dan motivasi untuk olahraga, yaitu untuk sehat. Kebetulan saya sedang cedera lutut akibat tersandung saat latihan. Saya belajar mendengarkan kondisi tubuh, tapi tetap harus bangkit lagi.”
Menutup sesi, dr. Irca mengingatkan: “Tubuh selalu memberi tahu apa yang salah. Tugas kita adalah mendengarkan. Kalau kita bisa menghargai proses pemulihan, tubuh akan berterima kasih dengan performa yang lebih baik dan tanpa nyeri berkepanjangan.”/ JOURNEY OF INDONESIA | iBonk