Jakarta Convention Center baru saja dibuka pameran budaya bagi para pelaku dan perajin tiga Warisan Agung Nusantara (WASIAT) Indonesia, yaitu batik, tenun dan mutiara. Acara ini menampilkan pameran dari seluruh daerah di Indonesia dengan beragam corak tenun dan batik yang merupakan salah satu warisan dari nenek moyang tanah air sejak dahulu kala.
Pada event yang diselenggarakan sejak tanggal 22 – 25 November ini ada salah satu booth yang memamerkan koleksi batik dari designer batik berkelas internasional, Nanang Sharna. Ia yang telah 20 tahun menekuni dunia batik di luar negeri ini akhirnya tertarik kembali ke Indonesia.
Ketekunan dan kecintaannya terhadap warisan nenek moyang ini membuat rancangan batiknya mempunyai ciri khas tersendiri. Makanya tak heran jika hasil karya Nanang sudah dikenal bukan hanya di dalam negeri saja, tapi juga di dunia. Bahkan selama 8 tahun, Nanang menjadi disainer tetap keluarga Nelson Mandela dan menetap di Afrika Selatan. “Kalau menekuni dunia batik ini sudah sejak saya tinggal di luar negeri. Saya sudah 20 tahun lebih tinggal di luar negeri, dan saya tertarik untuk balik ke Indonesia karena ingin mengembangkan batik yang diwariskan oleh nenek moyang kita,” kata disainer asal Solo ini.
Dalam pameran WARISAN kali ini, Nanang menampilkan beberapa koleksi batik lawasnya untuk dipamerkan dan juga dijualnya. Nanang tertarik ikut serta dalam pameran ini, karena ia ingin memperkenalkan juga batik rancangannya yang dalam pewarnaannya menggunakan bahan-bahan alami seperti dari empon-empon obat-obatan seperti kunyit, temugiring. Lalu ada juga buah-buahan seperti bit, lemon, dan buah pinang.
Sementara untuk warna hijau, ia menggunakan daun-daunan seperti mahagoni, daun jati, daun katuk, dan juga kayu mahoni. “Sekarang ini saya bawa berapa produk koleksi saya di acara ini. Saya bawa batik lawas koleksi saya, dan saya jual. Tadinya memang batik saya ini hanya untuk koleksi saja, karena memang maintainnya susah sekali. Sekarang saya berfikir untuk sharing agar dapat kita jaga bersama-sama,” ulas Nanang.
Jika melihat batik-batik yang ditampilkan di pamerannya hampir semuanya adalah batik lawas dan terlihat warna yang ditampilkannya berbeda dengan yang lain. Untuk bahannya pun tidak sembarangan, bahkan ada beberapa koleksi batik sutera yang dikombinasikan dengan serat buah pinang.
“Kalau bahannya bermacam-macam, ada yang gril dan ada juga yang dari bahan kanvas. Nah, yang sekarang saya galakkan adalah dari serat pinang,” ujar Nanang.
Menurut Nanang, bahan dari serat buah pinang ini lebih halus dari serat sutera dan menghasilkan motif kain yang etnik. “Buah pinang ini saya keringkan dulu dan akan keluar serat, kalau sudah kering seratnya seperti serat sutera dan sangat halus sekali. Ini saya yang ciptakan bersama dengan pengrajin. Bahan di combined dengan sutera dan garisnya dari sutera pinang,” katanya sambil memperlihatkan koleksi batik yang menggunakan bahan dari serat buah pinang.
Meminimalkan Bahan Kimia
Sebagai disainer, Nanang memang sangat concerned dengan bahan-bahan alami yang digunakannya. Ia sangat meminimalkan bahan-bahan yang menggunakan kimia dari setiap rancangannya. Meskipun untuk mempertahankan warnanya agar tahan lama, Nanang juga tidak menampik menggunakan sedikit bahan kimia agar warna yang dihasilkan dari batik rancangannya lebih awet.
Oleh karena itulah warna yang dihasilkan dari rancangan batik Nanang memang terlihat sedikit lebih pucat atau terlihat lebih dove dari batik lainnya, dan ini juga menjadi salah satu ciri khas dan keistimewaan rancangan batik Nanang Sharna.
“Inilah keistimewaan dari batik yang menggunakan pewarnaan alam. Kenapa saya memproklamirkannya, saya mengajak bangsa Indonesia itu untuk stop memakai kimia. Karena limbahnya sangat bahaya bagi pekarangan kita, ekosistem terutama air di sungai dan air yang kita konsumsi bisa tercemar dan akan sangat berbahaya bagi tubuh,” katanya.
Sejak zaman dulu nenek moyang kita bukan pakai pewarnaan kimia seperti sekarang, hal inilah yang selalu dijaga oleh Nanang. Pewarna alam seperti seperti empon-empon obat-obatan, kayu secang, kayu mahoni, kayu angsana, kayu buah jelawe, dan juga buah bit digunakan Nanang untuk beragam warna. Bahkan untuk menghasilkan warna biru ke abu-abuan, Nanang menggunakan bunga sepatu dikombinasikan dengan daun indigo.
“Seperti buah naga, setelah di waxed kita langsung aplikasikan ke bahan. Untuk mengunci warnanya kita pakai lemon atau jeruk nipis atau belimbing wuluh. Tapi kadang walau belimbing wuluh atau lemon masih tetap luntur, jadi memang terkadang untuk fixed-nya saya pakai sedikit bahan kimia. Tapi kadang-kadang aja tapi selalu saya minimalis dengan menggunakan bahan kimia,” ungkap Nanang yang baru saja pulang mengajar di University Art of Bahrain.
Nanang justru prihatin, ilmu mengenai batiknya malah ia dapatkan dari luar negeri, yaitu Den Haag. Karena cuma di negara itulah ada buku yang membahas tentang batik dan filosofinya. “Saya dapat ilmunya ini justru dari Den Haag, karena di Indonesia untuk mempelajari filosofi batik sendiri kita gak punya bukunya dan justru adanya di Den Haag. Di Den Haag pun justru di translate dengan bahasa lain dan malah tak ada bahasa Indonesia-nya sama sekali.
Motif harus punya pakem
Untuk merancang motif batik dalam kain, Nanang menggunakan motif yang sesuai dengan pakem dari nenek moyang. Menurut Nanang, batik warisan tersebut penuh dengan filosofi sehingga jika menciptakan motif baru harus mempunyai pakem tanpa menghilangkan filosofi dari motif batik itu sendiri. “Motifnya juga dari nenek moyang kita mewariskan motif batik yang sangat luar biasa dengan penuh akan filosofi.
Batik baru atau yg lama harus juga mempunyai pakem. Boleh saja mengkreasi batik yang baru tapi harus seperti nenek moyang kita karena filosofi yang mereka gunakan adalah doa dan itu merupakan pengharapan yang agung. Makanya batik warisan leluhur nenek moyang kita adalah warisan nan agung itu penuh doa dan pengertian yang sangat spesifik dan detail banget ,” kata Nanang.
Tak heran jika batik yang dihasilkannya menghasilkan warna dan motif yang sangat cantik. Dari sisi lama pengerjaan satu kain, Nanang membutuhkan waktu cukup lama pengerjaannya. “Saya tetap combined dengan batik klasik misalkan ada yang macan Sumatera, prosesnyanya sendiri memakan waktu dua tahun setengah. Disitu ada ada 27 colors ingredient dari bunga-bungaan, buah-buahan dari empon-empon, obat-obatan apotik hidup,” katanya lagi.
Dengan kerumitan dan lama pengerjaannya, batik rancangan dari Nanag Sharna ini dipatok mulai harga 40 juta rupiah sampai yang paling mahal 150 juta rupiah satu kainnya. “Buat saya nggak ada yang paling mahal, tapi memang harga yang paling tinggi saya jual 150 juta satu kain dan itu prosesnya hampir 3 tahun. Ada juga yang 6 bulan, karena kita bikin concentrate colournya juga dengan tangan, direbus dulu, mungkin di blender dulu untuk mengeluarkan concentrate warna dari bahan-bahan alami tersebut baru kita coletkan ke bahan,” ungkapnya.
Nanang juga berharap warisan adi luhung dari nenek moyang ini yang menggunakan pewarnaan alami adalah benar-benar warisan budaya. Karena jika kita tidak mempelajarinya, otomatis budaya itu akan hilang dan akan putus sebelum bisa dinikmati oleh generasi ke depannya. Padahal warisan budaya seperti batik merupakan jati diri bagi bangsa itu sendiri. Karena menurut Nanang, masyarakat di luar negeri justru lebih antusias dalam mempelajari warisan budaya Indonesia.
“Kalau kita sekarang tidak mau belajar, kita akan putus dan kalau anak cucu kita mau belajar harus ke Belanda atau ke negara lain, padahal itu jati diri bangsa Indonesia dan itu harapan saya. Tidak ada kata terlambat untuk belajar,” pungkas Nanang.
Nanang juga berpesan bila ingin memesan batiknya, harus perjanjian terlebih dahulu. Kain batik rancangannya untuk dipotong dijadikan baju atau bukan, karena memang batik rancangannya khusus dibuat untuk para kolektor batik. Semakin lama usia batik tersebut, maka semakin tinggi value yang dihasilkannya. / JOURNEY OF INDONESIA