Menjadi terkenal karena sesuatu yang baik merupakan sebuah keberhasilan sendiri. Apalagi jika dilakukan secara masif dan menghasilkan hasil yang lebih besar. Seperti yang bisa kita temukan di Desa Bone Bone, Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Desa ini cukup terkenal dengan aturan ketatnya sebagai daerah tanpa asap rokok dan bahkan melarang penyebaran rokok.
Memasuki pintu gerbang desa itu, nuansa anti rokok sudah sangat terasa. Karena setiap orang akan melewati pintu gerbang desa yang terletak di ketinggian 1500 mdpl, di kaki gunung Latimojong ini dengan adanya baliho besar yang bertuliskan tanda larangan merokok.
Desa ini telah dinyatakan sebagai desa bebas rokok sejak tahun 2000 silam, dan desa ini dinyatakan sebagai desa pertama di dunia yang bebas dari asap rokok. Semua memang tak lepas dari usaha keras Kepala Desa Bone Bone, Muhammad Idris sebagai inisiator keberhasilan usahanya ini.
Hal ini juga yang menjadikan tim Jelajah Kebangsaan Wartawan-PWI yang tengah berada di daerah ini untuk menyambangi Desa Bone Bone dan bertemu dengan Muhammad Idris untuk sekedar mendengar info terkini sejak peraturan desa yang bebas asap rokok diterapkan sejak 21 tahun silam.
Ditemani oleh Irman, salah seorang tokoh pemuda di Enrekang, Indrawan Ibonk, Sonny Wibisono dan Adji Tunang Pratama minus Yanni Krisnayanni yang tengah mendaki gunung Latimojong bersama-sama menunggang kuda besi masing masing ke desa yang berhawa sejuk ini.
Pertemuan siang itu sedikit tertunda karena kepala desa Bone Bone tersebut tengah berada di ladang miliknya, dan barulah menjelang maghrib mereka dapat bertemu di kediaman Muhammad Idris di lereng Gunung Latimojong, Sulawesi Selatan.
“Aturan larangan merokok itu kami terapkan pada tahun 2000. Ketika itu Bone Bone masih berstatus dusun. Lewat kesepakatan dengan 4 tokoh masyarakat disini, aturan ini kami buat. Awalnya tidak langsung ekstrim. Tapi lewat larangan untuk menjual rokok, lalu setelah 2 tahun ditingkatkan lagi untuk tidak boleh merokok di tempat umum dan seterusnya sampai larangan permanen diseluruh lingkungan desa”, ungkap lulusan Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Alauddin Makassar ini.
Kesungguhan Idris ingin menerapkan perarturan ekstrim di desa ini karena keprihatinannya terhadap keadaan penduduk desa yang jauh dari kata maju. “Banyak kawan kawan saya yang putus sekolah. Ketika ditelusuri banyak dari mereka tidak melanjutkan pendidikan mereka karena putus biaya, tapi untuk membeli rokok mereka mampu,” sesal Idris.
Belum lagi banyaknya anak-anak yang tak bersekolah karena tak punya biaya. Namun orang tua mereka mampu membeli rokok. “Itu yang membuat saya begitu ingin membuat perubahan agar potensi desa ini bisa bangkit dengan banyaknya orang yang bisa mengecap pendidikan.”
Pada awalnya penolakan penolakan cukup gencar dilakukan oleh penduduk yang menganggap ajakan ini merupakan hal yang aneh. Untuk hal tersebut Idris mendatangi penduduk yang protes dan ia ajak mereka debat. Umumnya, penduduk beralasan tak bisa bekerja jika tak sambil merokok. Apalagi udara Bone-Bone dingin. Idris mematahkan alasan itu bahwa ia pun bisa bekerja tanpa merokok. Ia juga mendatangi penjual rokok yang protes karena penghasilannya berkurang.
“Malah ketika saya meminta dukungan kepada pemerintah daerah disini dianggap hal lucu oleh mereka. Saya ditertawakan. Ketika pusat mendengar (Kementerian Kesehatan), dan saya diundang ke Jakarta disitulah dukungan mulai muncul dari mana-mana,” akunya lagi.
Idris mengungkapkan, peraturan larangan merokok ini juga berlaku bagi setiap tamu yang datang berkunjung ke Desa Bone Bone. Apabila ada yang kedapatan melanggar aturan, diberikan sanksi kerja sosial, antara lain mengakui perbuatannya dengan mengucapkan ikrar tidak melanggar aturan lagi lewat pengeras suara secara berulang ulang, membersihkan rumah ibadah (masjid), sekolah, membersihkan lingkungan desa seperti irigasi, lapangan dan lainnya.
Sanksi kedua justru diperuntukkan kepada pejabat dari Kabupaten Enrekang yang datang ke desa tersebut justru mereka malah merokok. Idris mengadukannya kepada Bupati La Tinro dan memanggil semua kepala dinas yang baru pulang dari sana. Di depan seluruh penduduk, para pejabat itu meminta maaf telah melanggar aturan desa. Mereka juga bersedia membayar denda. Dalam aturan, dendanya hanya Rp 100 ribu. Para pejabat itu membayar Rp1,5 juta, Rp1 juta dan Rp500 ribu tergantung dari kedudukannya.
Dengan ketegasan dan dukungan penuh Bupati itu, pada 2012 Bone-Bone dinobatkan sebagai Desa Teladan Tingkat Nasional. Idris kian sering bepergian karena diundang ceramah ke banyak tempat untuk bercerita bagaimana ia memimpin desa dengan efektif dan berhasil, termasuk sampai ke Cina.
Untuk menjaga agar desa ini terus dapat mempertahankan keberadaan ini, peraturan yang awalnya dianggap neko neko tersebut telah dibakukan menjadi Peraturan Desa (Perdes) yang mengikat. Salah satunya adalah pemimpin desa yang baru diwajibkan bukan dari kalangan perokok untuk tetap menjadi contoh bagi penduduk desa Bone Bone dan sekitarnya./ JOURNEY OF INDONESIA