Nama Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), sudah cukup seringlah kita dengar. Namun berapa banyak dari anda para pembaca yang pernah menginjakkan kaki dan berpetualang disana? Begitu panjang catatan sejarah sampai akhirnya Ujung Kulon ditetapkan sebagai Taman Nasional.
Ujung Kulon mulai diperkenalkan pertama kali oleh seorang ahli botani Jerman bernama F. Junghun pada tahun 1846. Sebagai seorang peneliti, Junghun dan peneliti lain pada era tersebut sangat mengenal kekayaan flora dan fauna Ujung Kulon. Sampai akhirnya semua berubah tatkala letusan Krakatau pada tahun 1883 meluluhlantakkan semua. Letusan yang menimbulkan gelombang tsunami maha dahsyat langsung menghancurkan kawasan ini.
Tak berlangsung lama, ekosistem vegetasi dan satwa liar tumbuh kembali di kawasan ini dengan cepat. Akhirnya pada tahun 1921 kawasan Ujung Kulon termasuk pulau Panaitan ditetapkan sebagai Suaka Alam oleh pemerintah Hindia Belanda. Tahun 1937, istilah Suaka Alam dirubah menjadi kawasan Suaka Margasatwa, ditandai dengan masuknya Pulau Peucang ke dalam area ini.
Pulau Peucang sendiri adalah pulau berhutan hujan tropis yang menurut para ahli sejarah terbentuk akibat ledakan karang laut yang terangkat oleh dahsyatnya gelombang tsunami saat gunung Krakatau meletus.
Suaka Margasatwa Ujung Kulon beberapa kali mengalamai perubahan nama sampai pada akhirnya tahun 1992 ditetapkan sebagai Taman Nasional Ujung Kulon dan UNESCO menetapkan Taman Nasional ini sebagai Natural World Heritage Site (Situs Warisan Alam Dunia). TNUK meliputi kawasan Cagar Alam Gunung Honje, Cagar Alam Pulau Panaitan, Cagar Alam Pulau Peucang termasuk didalamnya Pulau Handeuleum.
TNUK memiliki luas sekitar 120,551 ha ini, merupakan tempat utama perlindungan Badak dan Banteng. Taman Nasional ini juga memiliki bagian laut yang sangat signifikan berhubungan antara kegiatan penangkapan ikan dengan perlindungan badak.
Akhir – akhir ini terdapat penurunan pendapatan yang diakibatkan penangkapan ikan besar – besaran serta rusaknya habitat pesisir karena banyaknya terumbu karang yang dieksploitasi dengan menggunakan bom air. Masyarakat pesisir kemudian mulai melanggar batas kawasan hutan lindung dengan mengubah vegitasi asli menjadi lahan pertanian. Hal ini tentu saja berpengaruh pada habitat badak yang menjadi terdesak. Sangat disayangkan memang, berdasarkan data dari pengawasan populasi tercatat Badak kurang dari 50 ekor.
Untuk kegiatan para wisatawan, pengelola TNUK melakukan pembatasan jumlah pengunjung di setiap pekannya. Tujuannya, untuk menjaga keaslian habitat dan menghindari kepunahan satwa penghuni Taman Nasional. Oleh sebab itu pengunjung diharuskan mengantongi izin terlebih dahulu dari pengelola sebelum memasuki kawasan Taman Nasional ini.
Izin masuk bisa diperoleh dari Kantor Pusat Taman Nasional di Labuan, kemudian melaporkan kedatangan di Kantor Pengawas di Pulau Handeuleum dan selanjutnya di data ulang lagi di Kantor Pengawas di Pulau Peucang.
Apa yang ditawarkan TNUK tentunya sangat menarik. Kita bisa saja berharap bertemu dengan species langka Badak bercula satu yang sangat langka tersebut. Disamping itu kita dapat juga trekking menyusuri hutan hujan tropis, menikmati pantai berbatu karang, bird watching, diving, snorkeling, mengamati satwa liar seperti Babi Hutan, Rusa, atau sekawanan Monyet yang terlihat sudah sangat akrab dengan para wisatawan yang datang.
Tak kalah menarik adalah wisata canoeing dengan menyusuri sungai Cigenter yang hanya memakan waktu sekitar 20 menit dari Pulau Handeuleum. Persis layaknya menyusuri sungai purba di Amazon, di sini kita berkesempatan menyaksikan hewan liar yang kebetulan berada di tepian sungai berhutan rimbun ini. Melihat Biawak, Ular, Burung – Burung dan jejak – jejak Badak merupakan pengalaman yang tidak mungkin terlupakan.
Tempat eksotis lainnya adalah padang pengembalaan Banteng di Pulau Cidaun yang tepat berada di seberang Pulau Peucang. Hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit berperahu. Jika memang mujur, kita dapat melihat secara langsung puluhan Banteng liar tengah merumput di padang savanah. Selain Banteng , sekawanan Merak yang memamerkan bulu – bulu indahnya dan burung Enggang dapat kita saksikan secara langsung.
Jangan lewatkan juga untuk mengunjungi Cibom atau Tanjung Layar, menempuh jarak sekitar hampir 2 jam perjalanan laut dari pulau Peucang. Tanjung Layar sendiri memiliki sejarah yang cukup penting dalam sejarah maritim Indonesia dan kolonial Belanda. Di sini dibangun mercu suar, yang dijadikan “Ujung Pertama” Pulau Jawa dikarenakan lokasinya yang strategis dan sebagai petunjuk arah bagi kapal – kapal yang melintasi Selat Sunda.
Begitu menginjakkan kaki di pantai Tanjung Layar, pengunjung akan disuguhi dengan rimbunnya hutan. Untuk sampai di titik terujung pulau Jawa kita harus trekking selama 40an menit melalui jalan setapak membelah rimbunnya hutan. Pemandangan eksotis dapat kita temukan disana lewat hamparan pantai karang dan bukit-bukit karang menjulang bakal melunturkan kelelahan kita.
Perjalanan ke TNUK dapat dicapai dari Jakarta sekitar 5 jam perjalanan ke Kecamatan Sumur, lalu dilanjutkan lewat perjalanan laut dengan menyewa perahu bermesin sekitar 2 juta rupiah PP dengan jarak tempuh sekitar 3 jam. Yang perlu disiapkan sebelum berwisata alam TNUK diantaranya perbekalan yang cukup, air mineral, makanan ringan, tissue, lotion anti nyamuk, sun block, topi, kacamata, sepatu/ sandal trekking, perlengkapan snorkeling, kamera dan obat obatan pribadi.
Untuk kenyamanan bermalam di TNUK, pengelola menyediakan pondokan yang disewakan dengan fasilitas yang terbilang cukup memadai. Pondokan tersebut tersedia di Pulau Peucang dan Handeuleum. Secara administratif TNUK terletak di Kecamatan Sumur dan Kecamatan Cimanggu Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.
Setelah melihat sekian banyak warisan alam untuk kita ini, tugas kita yang lain akhirnya adalah mencintai dan turut serta menjaga kelestarian alam untuk diwariskan kepada anak cucu kita. Agar mereka masih dapat melihat keaslian habitat flora dan fauna di TNUK, sepenggal surga di ujung pulau Jawa./ JOURNEY OF INDONESIA