JAKARTA – Industri perfilman Indonesia kembali diramaikan dengan hadirnya film drama keluarga yang sarat nilai kemanusiaan dan spiritualitas bertajuk “Jangan Panggil Mama Kafir“. Film ini sepenuhnya membawa penonton dapat menyelami liku-liku cinta lintas iman, pergulatan batin seorang ibu tunggal, dan konflik budaya serta agama yang nyata dirasakan banyak keluarga di Indonesia.
Diproduksi Maxima Pictures dan Rocket Studio Entertainment, film ini akan tayang serentak di bioskop-bioskop seluruh Tanah Air mulai 16 Oktober 2025. Disutradarai oleh Dyan Sunu Prastowo, dengan naskah karya Archie Hekagery dan Lina Nurmalina, film ini mempertaruhkan emosi dan realitas sosial sebagai bahan baku ceritanya.
Di dalam film diceritakan bahwa Maria (Michelle Ziudith), seorang perempuan Nasrani, jatuh cinta dengan Fafat (Giorgino Abraham) seorang pria Muslim setelah mereka bertemu di sebuah gereja pada malam Natal. Meski berbeda agama, mereka memilih untuk menikah dan kemudian dikaruniai seorang anak, Laila (Humaira Jahra).
Tak lama setelah Laila lahir, Fafat meninggal dalam kecelakaan. Sebelum kepergiannya, Fafat sempat meminta agar Maria membesarkan Laila sesuai ajaran Islam. Tugas ini menjadi ujian besar bagi Maria, tidak hanya secara pribadi tetapi juga sosial. Ketika nenek dari pihak Fafat, Umi Habibah (Elma Theana), merasa bahwa cara Maria mendidik Laila masih kurang, muncul tuntutan hak asuh atas cucunya demi ajaran yang diyakininya.”
Ini peran yang sangat berbeda. Sebagai Maria, aku belajar bagaimana cinta seorang ibu bisa menembus batas logika dan keyakinan. Aku banyak menangis, tapi juga banyak belajar tentang arti keluarga,” ujar Michelle menanggapi peran yang dilakoninya.

Michelle juga menambahkan kalau dirinya merasa tersentuh ketika pertama kali membaca skenario yang ia terima. Karena ia harus berperan sebagai seorang istri dan ibu. “Aku merasa skenario ini tuh dibuat untuk aku. Aku tersentuh sekali pas bacanya, aku bilang sama manajer, aku harus terlibat terlibat di proyek ini. Aku benar-benar terpanggil untuk memerankan tokoh Maria,” jelasnya saat ditemui di XXI Epicentrum Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (13/12/2025).
Michelle Ziudith mengaku bahwa memerankan Maria bukan sekadar bermain tokoh, melainkan meresapi kehidupan, pengorbanan, dan kerentanan seorang ibu yang berada di persimpangan agama dan kasih sayang. Ia juga berusaha untuk mendalami sisi Maria yang berbeda dari agama yang selama ini dijalani, dengan berkunjung beberapa kali ke gereja.
Sementara itu Giorgino Abraham menyebutkan bahwa perannya sebagai Fafat, meski kehadirannya berakhir cepat, tapi menjadi karakternya penting. “Fafat menjadi fondasi moral dan janji yang menjadi beban Maria setelah kepergiannya,” ungkap Giorgino. Ia juga menilai film ini sebagai ruang refleksi, bukan untuk menunjukkan siapa yang benar atau salah. “Disini kita dipaksa bagaimana perbedaan iman bisa dipahami dan dihargai”, sambungnya.
Film ini bukan disebut “film religi” oleh para pembuatnya, melainkan lebih ke drama keluarga yang berakar pada kasih sayang, keteguhan hati, dan nilai kemanusiaan yang universal. Durasi sekitar 110 menit, dengan latar pembuatan yang memasukkan unsur budaya dan agama secara otentik, seperti setting gereja, adat keluarga, dan dinamika sosial yang dekat dengan kenyataan hidup masyarakat majemuk.

Film Jangan Panggil Mama Kafir adalah karya yang muncul di momen tepat, ketika diskusi tentang toleransi, perbedaan agama, dan hak asuh anak dari perspektif ibu tunggal lintas iman makin terdengar di ruang publik. Jangan Panggil Mama Kafir tidak sekadar menghibur, tapi mengundang dialog. Bagaimana hubungan antaragama dilihat dalam rumah tangga? Bagaimana peran ibu saat kehilangan pasangan dan harus menanggung tanggung jawab moral dan agama? Film ini bertujuan memberi ruang empati dan pertanyaan kritis bagi penontonnya.
Salah satu dialog klimaks yang menyeruak ketika Laila sang anak di tengah tekanan, mengucapkan kalimat yang mengguncang semua pihak: “Jangan panggil Mama kafir!” Ungkapan yang merepresentasikan konflik batin, stigma sosial, dan kekuatan ikatan anak-ibu.
Apakah film ini mampu menjaga keseimbangan pandangan tanpa menyudutkan salah satu pihak? Kehati-hatian diperlukan agar tema beda agama tidak berakhir pada polarisasi. Bagaimana tanggapan masyarakat yang memiliki pengalaman serupa? Apakah mereka melihat representasi yang adil atau merasa dilebih-lebihkan?
Secara sinematik, apakah dialog dan narasi berat yang emosional akan membuat penonton merasa kelebihan drama (overdramatic) atau malah kehilangan nuansa?
Jangan Panggil Mama Kafir menjanjikan lebih dari sekadar kisah keluarga drama. Lewat pemain yang kuat, latar yang nyata, dan konflik yang dekat dengan kehidupan banyak orang, film ini layak menjadi bahan refleksi sekaligus tontonan yang mengharukan./ JOURNEY OF INDONESIA | iBonk