CIREBON – Kota Cirebon sejak lama dikenal sebagai kota yang sarat dengan akulturasi budaya. Salah satu bukti nyata dari perpaduan berbagai tradisi ini adalah Masjid Merah Panjunan, sebuah bangunan bersejarah yang mencerminkan pengaruh Islam dan Tionghoa dalam arsitektur serta filosofi pembangunannya.
Masjid yang terletak di Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk, ini didirikan pada tahun 1480 oleh Syarif Abdurakhman atau Pangeran Panjunan, seorang ulama sekaligus pedagang tanah liat.
Kala itu, kawasan Panjunan dihuni oleh komunitas Arab yang mayoritas berprofesi sebagai pedagang. Demi memenuhi kebutuhan ibadah mereka, Pangeran Panjunan mendirikan masjid dengan material utama berupa bata merah, sebuah ciri khas yang masih dipertahankan hingga kini. Warna merah pada bangunan masjid diyakini sebagai simbol keberanian dalam menegakkan kebenaran dan kejujuran.
Keunikan utama Masjid Merah Panjunan terletak pada arsitekturnya yang memadukan dua budaya berbeda. Bagian fasad masjid memiliki tampilan yang menyerupai kelenteng, sementara bagian dalamnya mengusung gaya khas Timur Tengah.
Sentuhan budaya Tionghoa ini diyakini sebagai bentuk penghormatan terhadap Putri Ong Tien, istri Sunan Gunung Jati yang berasal dari Tiongkok. Bukti nyata dari akulturasi ini juga dapat ditemukan pada dinding masjid yang dihiasi piring-piring keramik China berusia ratusan tahun.
Selain aspek visual, filosofi Islam juga tertanam dalam berbagai elemen bangunan masjid. Pintu masuk utama dibuat dengan ukuran kecil, bertujuan agar setiap jamaah yang masuk harus menunduk sebagai simbol kerendahan hati saat menghadap Allah SWT. Sementara itu, jumlah tiang penyangga dalam masjid mencapai 17 buah, yang melambangkan jumlah rakaat dalam shalat lima waktu.
Bagian dalam masjid memiliki ruangan khusus yang hanya dibuka pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Ruangan ini diyakini sebagai tempat yang memiliki nilai sakral dan diwariskan turun-temurun dari Sunan Gunung Jati. Selain itu, terdapat aturan adat yang masih dijaga hingga kini, yaitu larangan bagi wisatawan non-Muslim untuk melintasi batas kuning di dalam area utama masjid.
Di sebelah kanan masjid, terdapat area wudhu yang merupakan bagian dari bangunan tambahan. Tak jauh dari tempat wudhu, terdapat kompas kuno berbentuk batang tembaga yang dulu digunakan untuk menentukan waktu shalat berdasarkan bayangan matahari. Kini, informasi waktu shalat telah tertulis di papan dalam bahasa Arab untuk memudahkan jamaah.
Pada sisi kiri masjid, terdapat area khusus bagi jamaah perempuan yang dipisahkan oleh tirai hijau. Ruangan ini dahulu menjadi tempat bagi ibu dan istri Sunan Gunung Jati dalam melantunkan zikir. Di lokasi yang sama, terdapat patilasan yang diyakini sebagai tempat penyimpanan benda-benda bersejarah seperti keris dan tombak milik para wali.
Sayangnya, berbagai peninggalan berharga di Masjid Merah Panjunan tidak sepenuhnya terjaga. Piring-piring keramik dari China yang dahulu menghiasi dinding masjid banyak yang hilang akibat dicuri oleh oknum tak bertanggung jawab. Kini, hanya tersisa sebagian kecil dari piring-piring tersebut, dengan banyak di antaranya dalam kondisi pecah atau rusak.
Meskipun demikian, Masjid Merah Panjunan tetap menjadi salah satu ikon penting dalam sejarah dan budaya Cirebon. Wilayah Panjunan yang kini lebih dikenal sebagai Kampung Arab masih mempertahankan fungsinya sebagai pusat aktivitas keagamaan. Masjid ini tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga saksi bisu dari harmonisasi dua tradisi besar yang turut membentuk identitas Cirebon hingga saat ini./ JOURNEY OF INDONESIA | iBonk