Bicara Seni Musik Tarling, artinya kita harus mengembalikan ingatan pada tahun 1930 an. Tarling merupakan salah satu jenis musik yang populer di wilayah pesisir Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat, terutama wilayah Indramayu dan Cirebon.
Tarling sendiri identik dengan nama instrumen gitar dan suling (seruling). Alunan gitar dan suling bambu yang menyajikan musik Dermayonan dan Cerbonan akhirnya mewabah di berbagai pelosok desa di Indramayu dan Cirebon, sebagai sebuah gaya hidup.
Memasuki tahun 1935, alunan musik tarling mulai dilengkapi dengan kotak sabun yang berfungsi sebagai kendang, dan kendi sebagai gong. Setahun setelahnya, alunan tarling dilengkapi dengan alat musik lain berupa baskom dan ketipung kecil yang berfungsi sebagai perkusi.
Tak hanya sebagai pertunjukan musik, kesenian ini akhirnya disandingkan dengan pergelaran drama. Cerita yang disampaikan berkisah tentang kehidupan sehari-hari yang terjadi di tengah masyarakat. Karenanya muncul lakon-lakon seperti Saida-Saeni, Pegat-Balen, maupun Lair-Batin yang begitu melegenda hingga kini.
Seiring walktu berjalan, musik tradisi terancam punah ataupun berubah imejnya. Diakui memang tarling tidak dapat dipisahkan dari sejarah masyarakat pesisir pantura. Dikarenakan tarling telah mengalir disetiap pembuluh darah masyarakat pantura. Ikut terlibat dipanggung ataupun hanya melihatnya, dan mendengarnya seolah mampu menghilangkan beratnya beban hidup yang menghimpit. Lirik lagu maupun kisah yang diceritakan di dalamnya, juga mampu memberikan pesan moral yang mencerahkan dan menghibur.
Nah, untuk kembali membesarkan dan mengembalikan tradisi ini ditempat yang layak, MESTI (Majelis Seni & Tradisi) Cirebon menghadirkan “Simfoni Tarling”. Pagelaran yang di sutradarai oleh Dedi Kampleng ini diiringi oleh Oeblet Tabuhan Nusantara Orchestra serta dipertunjukkan selama 2 hari berturut-turut pada 7-8 April 2017 di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.
Pertunjukan yang terbilang besar ini, menghadirkan konsep yang lebih mewah dari pada pertunjukan sejenis di kota asalnya, Cirebon. Melibatkan lebih dari 100-an pemain dan pendukung yang tidak hanya dimonopoli oleh musisi Cirebon saja. Seni pertunjukan ini, merupakan juga perpaduan antara orchestra dan original tarling yang berkolaborasi dengan seni tari, sastra dan multi media serta lewat dukungan tata suara dan cahaya yang maksmal.
Sutradara pagelaran ini, Dedi Kampleng mengatakan keinginan menghadirkan event ini adalah untuk menahan derasnya gempuran pengaruh budaya dari barat maupun industri hiburan dalam negeri yang dianggap telah terpengaruh budaya asing. Dihadirkan lewat perpaduan tarling klasik dengan tabuhan nusantara yang dibuat menarik dan kekinian, tanpa mengurangi nilai-nilai mendasar dari tarling itu sendiri.
“Pagelaran ini kami masukkan juga unsur-unsur musik dari berbagai daerah seperti dari Makasar, Yogyakarta, Batak dan lainnya. Kami itu bersilahturahmi nada dari berbagai daerah se-nusantara, yang menggabungkan kekuatan-kekuatan nasional se-nusantara,” ujar Dedi menambahkan.
Pertunjukan yang berlangsung hampir 2 jam ini, sungguh terasa dinamis dan mengikuti keadaan zaman. Kemasan tarling dihadirkan lewat sentuhan dangdut, pop, rock, bahkan reggae yang diiringi musik orkestra. Lewat sajian yang penuh sentuhan kekinian tersebut, Dedi mengharapkan agar anak-anak muda, mau mengerti dan mencintai tradisi Tarling ini.
Pentas yang dibuka lewat nyanyian dan iringan gitar dua maestro yang menggiring penonton lewat narasi bernada. Bercerita tentang musik tradisi ini sejak awal hingga kini dan bagaimana musik ini sendiripun cukup bisa diadaptasikan dengan instrumen modern lainnya.
Lalu dilanjutkan dengan penampilan para diva tarling seperti Hj. Nengsih, Hj. Uun Kurniasih, Nunung Alfi ataupun lantunan suara Diana Sastra yang semuanya memiliki karakter dan mampu menunjukkan poternsi dan keunikan suaranya masing-masing. Bisa dibilang ini merupakan pertunjukan sempurna.
Panggung yang disesaki oleh beragam alat dan banyaknya pemain yang terlibat mampu mengiri lagu-lagu yang cukup dikenal ditelingan pencinta musik ini diantaranya: ‘Kembang Kilaras’, ‘Sumpah Suci’, ‘Pemuda Idaman’, ‘Aja Melang’, ‘Remang-Remang’, ‘Arjuna Ireng’ sampai ‘Warung Doyong’
Ada sepenggal harap yang sempat terucap oleh Dedi pada pesannya bahwa lewat pertunjukkan ini, orang-orang asli Cirebon yang sudah besar di luar kota menjadi tergugah untuk membangun tanah kelahiran agar lebih maju./ JOURNEY OF INDONESIA