Dipenghujung pekan lalu, tepatnya Sabtu, 2 Juli 2022 di Auditorium Erasmus Huis, Kuningan, Jakarta ada sesuatu yang berbeda. Kehadiran seorang Dido Michielsen yang merupakan seorang penulis buku ‘Lichter dan Ik’ yang dialihbahasakan menjadi ‘Lebih Putih Dariku’ oleh Marjin Kiri untuk menjadi sebuah perenungan yang asik utuk didalami.
Ada sebuah fakta mengenai pandangan umum masyarakat terhadap tokoh Nyai ini menggelitik Dido Michielsen. Sebagai seseorang yang memiliki darah Indonesia dalam nadinya, Dido mendengar banyak sekali cerita Nyai yang berbeda dengan apa yang selama ini disajikan oleh buku-buku atau film-film yang beredar. Apalagi tokoh Nyai sering kali diartikan ke dalam konotasi negatif, bahwa seorang Nyai selayaknya wanita penggoda para tantara/tokoh Hindia Belanda. Cukup sulit mencari buku yang mengangkat tokoh Nyai dalam artian positif.
Tergelitik akan hal tersebut, Dido mulai mencoba untuk mengulik cerita nenek dan nenek buyutnya mengenai kehidupan Nyai di masa Kolonial Belanda di Indonesia. Hasilnya, terbitlah novel yang berjudul “Lichter dan Ik” ini.
Dalam bukunya ini Dido menceritakan tentang Isah, yang merupakan penghubung antara alam pikiran masyarakat Jawa dengan semesta kolonial Hindia Belanda. Melalui perannya sebagai seorang Nyai, kita tidak hanya bisa melihat betapa pahit dan penuh lika-likunya perjalanan hidup Isah, namun kita juga bisa melihat lanskap Hindia Belanda yang kompleks, tarik menarik antara nilai-nilai Jawa dan pandangan hidup Barat, antara kekuasaan absolut keraton dengan penindasan otoritas kolonial.
Ujung-ujungnya dalam kompleksitas lanskap tersebut, perempuan, apalagi perempuan pribumi selalu berada dalam posisi yang rentan dan termarjinalkan. Pada sisi lain, tokoh Isah juga mengingkatkan kita kepada sejumlah literatur yang mengangkat persoalan Nyai di Hindia Belanda, seperti kisah Nyai Dasima yang populer karya Gijsbert Francis.
Berbeda dengan stereotip Nyai yang digambarkan Gijsbert Francis sebagai perempuan licik penuh tipu muslihat, Isah adalah Nyai yang punya pikiran unik. Ia bisa melihat feodalisme Jawa yang problematis sekaligus kolonialisme yang sangat hirarkis.
Isah memang terbelenggu dalam dua dunia patriarki, patriarki Jawa dan patriarki kolonial, namun Isah tetap punya pikiran yang keluar dari kungkungan struktur sosial tersebut.
Dalam uraiannya, Dido menggambarkan bahwa karyanya ini secara tidak terikat didasarkan pada kisah nenek buyut saya sendiri. Dengan adanya versi terjemahan ke Bahasa Indonesia, dirinya merasa seperti membawanya pulang kembali.
“Orang Indonesia dan Belanda berbagi sejarah kuno yang berlanjut hingga hari ini. Saya berharap buku saya ini dapat menambah pengetahuan tentang sejarah yang saya tulis dari sudut pandang seorang perempuan Jawa,” ungkap Dido Michielsen selaku penulis dari Novel ini.
Gelar Literacy Program, Book Discussion and Book Signing: Out of the Book Lebih Putih Dariku ini adalah sebuah perayaan relasi literasi antara Indonesia dan Belanda, yang merupakan kerja sama Yayasan 17000 Pulau Imaji dan Erasmus Huis.
Yani Kurniawan selaku Production Manager Yayasan 17000 Pulau Imaji menyebutkan sebuah kebanggaan bagi pihaknya untuk dapat bekerja sama kembali dengan Erasmus Huis untuk merayakan keberagaman literasi Indonesia-Belanda yang saling bersinggungan. Ini merupakan tahun kedua mengangkat program yang sama setelah di tahun 2021 menghadirkan beberapa penulis Indonesia dan Belanda.
Sementara Yolande Melsert, Direktur Erasmus Huis menyampaikan kesannya bahwa novel ini adalah salah satu yang paling menyentuh. Berkesan yang pernah dibacanya dalam beberapa tahun terakhir. “Dalam cerita ini Dido Michielsen mengkombinasikan fakta sejarah ‘Hindia Belanda’ (dengan hirarki sosial yang kuat di zaman kolonial) dengan cerita pribadi mengenai seorang perempuan Yogyakarta dalam proses mencari kehidupan yang bahagia. Dido melakukannya dengan cara visualisasi yang sangat indah,” ungkapnya./ JOURNEY OF INDONESIA